Tuesday, October 20, 2009

intervensi atas otonomi diri

“If life is a catwalk, then everyone will conceitedly come and go, ignoring anyone else but their self…”

Otoritas diri merupakan salah satu hal yang menurut saya bersifat hakiki. Hal yang menurut saya pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang namun pada aplikasinya berada di area abu-abu yang terbentur berbagai macam hal sana-sini, kanan dan kiri. Saya heran ketika kemudian saya tersakiti ketika otoritas diri saya diintervensi sana-sini namun ternyata saya sendiri mengintrospeksi diri bahwa saya sendiri juga mengintervensi otoritas diri orang lain. Saya duduk termenung sendiri di sini dan menyadari bahwa saya harus berbesar hati. Siap diintervensi dan belajar untuk tidak terus menerus mengintervensi.


Intervensi atas otoritas diri menurut saya nyaris serupa dengan berbagai quotes manis yang akrab di telinga saya dan saya publikasikan bahkan kadang saya modifikasi sendiri menjadi “quotes saya”. Saya umpamakan otoritas diri dengan catwalk dan panggung sandiwara. Sama-sama panggung publisitas luar biasa yang penuh sorot cahaya yang dipicingi oleh banyak mata. Saya umpamakan hidup dengan catwalk dimana orang-orang lalu lalang melewati dan meninggalkan panggung itu dengan angkuhnya dan tidak peduli dengan orang lain hanya peduli pada dirinya sendiri. Refleksi atas otoritas diri membuat saya berpikir jika sikut menyikut dalam intervensi otoritas diri dan otoritas diri orang lain merupakan hal yang kadang tidak disadari dan tidak pernah disadari mungkin saja kita juga saling menyakiti. Saling menyakiti otoritas satu sama lain dengan angkuh dan tidak peduli namun hanya berpikir bagaimana untuk mempertahankan atau justru memperkaya otoritas diri sendiri.

Saya umpamakan otoritas diri sebagai bagian dari panggung sandiwara. Jika hidup adalah sandiwara besar sedikit orang yang rela menjadi pemain, sementara yang lain saling baku hantam berlomba menjadi sutradara, mengira dengan kekuasaan bisa menentukan jalan cerita. Siapapun di dunia ini, manusia darimana pun pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berkuasa. Porsi kekuasaan itu sendiri berbeda-beda, ada yang sudah cukup puas untuk berkuasa dalam skala kecil namun ada juga yang begitu tamak untuk menyodok sana-sini untuk menguasai hampir semua hal. Saya rasa ingin menguasai itu tidak salah, itulah sifat dasar manusia. Tinggal bagaimana kita mengendalikannya, tinggal bagaimana kita menjaganya agar tidak begitu berlebihan dan berada tetap di alurnya.


Saya diintervensi dan (tanpa disadari) saya juga mengintervensi. Harusnya saya tidak boleh merasa tersakiti ketika saya diintervensi karena ternyata saya sendiri juga menyakiti. Dan kesadaran atas kenyataan itu baru saya dapati malam ini. Baru saya pahami malam ini ketika saya harus menangis tersakiti dan merefleksikan diri habis-habisan hingga terisak tak bersuara. Menangis dalam hening.


Kali ini saya akan belajar lebih berbesar hati. Lebih menerima apapun yang terjadi tanpa terlalu banyak mengintervensi. Saya tidak bisa menjanjikan saya tidak akan pernah mengintervensi karena saya labil dan tidak lepas dari ketidaksengajaan serta sifat-sifat saya yang ingin mendominasi mengatur sesuai alur yang saya tetapkan sendiri. Saya akan belajar berbesar hati. Belajar membiarkannya menguasai dirinya sendiri namun memastikan bahwa tangan sayalah yang akan tetap selalu digenggamnya.


Terima kasih untuk sebuah renungan sederhana dan cerminan luar biasa yang saya dapatkan malam ini…

My room, 16 Oktober 2009.

Sebuah cerminan yang membawa pada isakan tak bersuara