Tuesday, December 16, 2008

senja bersama sang waria

Sore ini saya menemani pacar saya melakukan wawancara dengan seorang "Mami" dari waria-waria yang berdomisili di Yogyakarta. Perlu sebuah keberanian dan sedikit kenekatan untuk menemaninya karena saya sendiri sesungguhnya sedikit takut dengan waria. Bukan apa-apa, namun stereotype mengenai waria yang agak sentimen terhadap perempuan kali ini dikatakan oleh teman-teman saya sangat berlaku di sana. Saya sudah hampir patah semangat untuk tidak ikut datang ke sana jika saja saya tidak benar-benar nekat dan membulatkan tekad. Dari dulu, saya sangat berkeinginan berteman dengan waria, mengenal mereka lebih dekat tidak hanya dari layar kaca televisi atau sekedar melihat mereka di salon atau pinggir jalan, namun lebih memahami mereka secara personal dan mengerti mereka dengan sudut pandang manusiawi yang terkadang sedikit dilupakan oleh orang-orang.



Kami menyusuri jalanan sepanjang daerah barat Tugu Yogya, setelah masuk dalam sebuah gang kami menemukan LSM yang dimaksud. Saya turun dan mulai melangkah dengan ragu-ragu. Masih ada kekhawatiran yang saya rasakan. Bagaimanapun saya tidak mau mati konyol digebuk waria. Saya terus menggenggam tangan pacar saya sambil melangkahkan kaki. Begitu masuk, kami disambut oleh dua orang waria yang kemudian mempersilakan kami duduk. Entah stigma saya sendiri atau memang begitu kenyataannya, saya merasa saya terus diperhatikan oleh mereka. E ntahlah, namun jauh di perasaan saya, saya sangat meyakini saya mampu berteman dengan mereka.



Kami berada di ruang itu selama beberapa menit. Sang Mami yang kami tunggu rupanya sedang keluar sebentar. Beberapa menit kemudian Mami Vin, begitu beliau dipanggil datang dan menyalami kami satu per satu. Sikapnya sangat ramah, sangat bersahaja, dan sangat bersahabat. Saya semakin yakin bahwa saya akan belajar sesuatu dari mereka sore ini.



Mami Vinolia mengajak kami berbincang-bincang di ruangan kerjanya. Sebuah ruangan sederhana yang tampak nyaman dengan sebuah jendela klasik di belakang kursi kerja. Kami saling memperkenalkan diri, dan memulai perbincangan standar mengenai bagaimana LSM mereka terbentuk, partner mereka, serta kondisi internal mereka. Semakin lama pokok bahasan yang kami bicarakan semakin dalam dan memacu kepenasaranan saya mengenai berbagai hal. Pembicaraan kami terus berlanjut hingga saya kemudian rasa tertarik saya memuncak dalam sebuah pernyataan mengenai asmara di kalangan teman-teman waria.



Mami Vin mengatakan bahwa waria menyukai laki-laki yang heteroseksual. Suatu pernyataan yang cukup mengejutkan bagi saya, namun justru pembicaraan ini menjadi suatu hal yang membuat saya tertarik. Seperti yang dikatakan Mami Vin bahwa ya waria tertarik dengan laki-laki heteroseksual, laki-laki yang menyukai perempuan. Dan masalah akan muncul ketika kemudian sang laki-laki tersebut akan menikah dengan seorang perempuan, sang waria harus mampu mendukung dan merelakan laki-laki tersebut. Mami Vin juga mengakui bahwa ya hal itu memang tidak mudah, namun beliau berkata kepada teman-teman waria, "Pergilah ke kamar mandi dan menunduklah", ada suatu hal kodrati yang memang tidak bisa diberikan oleh waria kepada laki-laki. Saya kemudian berkata pada Mami Vin, "Mami, artinya diperlukan mental yang kuat oleh waria mengenai hal seperti ini ya?" dan Mami Vin mengiyakan.



Perbincangan kami berlangsung beberapa jam sampai kemudian kami harus pamit meskipun sebenarnya masih ada sekelumit renungan yang masih mengusik pikiran saya. Sebelum pulang, saya pergi ke sebuah gerai fast food di bilangan Jendral Soedirman bersama pacar saya. Kami duduk di bagian outdoor counter tersebut sambil memandang jalan raya. Saya merenungi sesuatu di sana, jikalau cinta memang memerlukan pengorbanan, apakah pengorbanan dalam bentuk seperti itu yang dilakukan waria? Apakah memang cinta? Haruskah sisi kodrati yang kemudian memisahkan batas hitam putih di antara mereka? Lalu mengapa harus ada perasaan suka di antaranya?



Ahh, kemudian saya berpikir lagi. Semua memang tercipta untuk memberi warna. Untuk dipelajari bagi hari-hari selanjutnya. Jika memang menginginkan satu warna saja, kenapa Tuhan harus mengizinkan perang, tangis, sakit hati, dan sebagainya? Menurut saya, karena satu hal yaitu "warna".



Saya kemudian berpikir lebih jauh lagi, terkadang kita sulit mengikhlaskan sesuatu. Menerima kenyataan bahwa apa yang kita miliki tidak lagi menjadi milik kita. Tidak hanya masalah cinta namun dalam hal-hal kecil seperti benda-benda. Dan kemudian saya bersyukur sekali, karena saya tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang mustahil dalam kehidupan cinta saya. Saya tidak perlu khawatir tidak akan pernah bersama kekasih saya karena masalah sisi kodrati seperti yang mereka alami.

Satu doa saya bagi mereka semua, semoga kebahagiaan akan mereka dapati dan pelukan hangat semua orang di sekeliling mereka dapat mereka raih.



untuk kekasih saya, Christa Adhi Dharma, terima kasih untuk selalu menggenggam tangan saya di setiap detik, pendampingan dan kesabaran yang luar biasa meski hanya menemani saya duduk di suatu senja menatap jalan raya. i love you, my baby d.

Monday, December 15, 2008

suatu senja di jantung kota

Banyak sekali hal kecil di sekeliling saya yang sering mencuri perhatian saya. Salah satunya ketika kemarin sore saya sedang duduk-duduk menunggu diklat fotografi selesai di perempatan Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Perhatian saya tercuri oleh seorang tuna grahita yang lewat di depan saya dan dia hendak menyeberang jalan. Terlintas di benak saya, "Apakah dia akan baik-baik saja dan dapat menyeberang dengan baik?". Saya terus mengamatinya, menuntaskan penasaran saya atas pertanyaan tersebut.


Dia berdiri di pinggir jalan raya yang tidak kenal pagi, siang, sore, malam, dini hari, hingga pagi lagi. Jalan raya yang terus menerus dilewati oleh kendaraan-kendaraan di daerah 0 km di jantung kota membuatnya tetap berdiri di sisi jalan. "Apakah dia menanti jalanan sepi?" itulah pertanyaan kedua saya terhadapnya. Dan tebakan saya benar, dia berdiri di sana sekian menit menanti traffic light menunjukkan warna merah dan dia mulai melangkah pelan-pelan menuju ke seberang jalan. Mata saya mengekor langkahnya, dia berjalan begitu santai tanpa beban dan berlalu di ujung jalan. Satu kesimpulan yang saya ambil saat itu, "Tuna grahita pun berhati-hati dalam menyeberang".


Sekitar satu jam kemudian diklat selesai dan saya pulang bersama kekasih saya. Saya ceritakan padanya tentang apa yang saya lihat tadi dan kesimpulan yang saya ambil. Dia menambahkan kesimpulan saya, "Tuna grahita pun pada titik tertentu memiliki kesadaran terhadap caranya melindungi diri dan mempertahankan hidupnya. Pernah ngga kamu lihat ada tuna grahita yang tidur di tengah sungai atau di dalam sumur?" Penjelasannya cukup memuaskan saya dan menyadarkan saya bahwa seperti apapun kondisi seseorang, pada dasarnya dia akan berusaha untuk mempertahankan hidupnya sebagai sebuah bentuk kesadaran kodrat manusiawi.


Sayangnya, kadang alasan mempertahankan hidup itu menjadi sebuah pembenaran terhadap setiap tindakan manusia bahkan sesuatu yang mungkin dianggap tidak benar, disalahkan, atau memang benar-benar salah menjadi sebuah hal yang lumrah dan patut atas nama "mempertahankan hidup". Ketika "mempertahankan hidup" sudah menjadi sebuah alasan, maka tindakan-tindakan seperti trafficking, prostitusi, perampokan, penodongan, dan berbagai tindakan-tindakan yang merugikan orang lain seolah menjadi benar, sekali lagi atas nama "mempertahankan hidup". Tuhan memang menyuruh kita untuk berusaha mempertahankan hidup kita, naluri manusiawi pun akan secara instingtif mendorong kita mempertahankan hidup namun perlukah dengan cara seperti itu? Ataukah memang situasi yang benar-benar mendesak yang menyebabkan mereka berbuat seperti itu? Jikalaupun iya, apakah tindakan tersebut dapat memperoleh pembenaran?

Thursday, November 27, 2008

sebuah renungan kecil di pagi hari

Mencoba menghayati makna dari setiap peristiwa dalam hidup orang-orang di sekeliling saya membuat saya menyentuh ranah kedalaman pemikiran yang mungkin sulit terungkap lewat aksara. Kejadian yang dialami mereka seolah mampu memberikan energi bagi saya untuk berpikir lebih dalam dan mampu untuk tidak sekedar memahami namun juga merasakan apa yang mereka rasakan.

Ketika seseorang menceritakan pada kita tentang sebuah pengalaman hidupnya, sesungguhnya kita tidak hanya menyediakan sebuah wadah penampung dari sekedar rasa resah mereka namun ada esensi lain yang bisa kita dapatkan yaitu kesempatan untuk belajar. Memposisikan diri kita terhadap sebuah peristiwa yang dialami orang lain mengajarkan kita memandang dari sisi mereka sekaligus pandangan kita sendiri sebagai sebuah individu atas peristiwa tersebut. Ketika kita mampu benar-benar menyatukan pandangan itu maka sebuah syukur yang teramat besar akan kita rasakan atas kesempatan untuk menjalani hidup dengan berserah diri dan menerima, serta mencintai diri apa adanya.

Setiap kejadian tidak lagi saya pandang dalam ranah baik atau buruk, benar atau salah, bahkan hitam atau putih. Kisah orang-orang di sekeliling saya tentang perpisahan, cinta, bangkit, jatuh, rapuh, tawa, dan air mata kembali membuat ingatan saya segar akan dinamika kehidupan dan kemampuan untuk mensyukuri apapun yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Seperti dalam sebuah lirik lagu "if everything has been written, so why worry?" dimana kemudian kita akan mampu menjalani sesuatu dengan lebih ikhlas dan lebih berserah diri, mencintai diri secara apa adanya.

Contoh langsung, ketika ada dari sekian orang-orang yang ada di sekeliling kita harus berkenalan dengan rasa sakit atas perpisahan, maka kita akan mampu mensyukuri kesempatan untuk masih merasakan dicintai dan mencintai seseorang. Begitu pula ketika ada dari sekian orang-orang yang ada di sekeliling kita berteman dengan rasa bahagia atas keberhasilan dalam hidupnya, maka kita akan mampu menghayati kebahagiaan sebagai sebuah dinamika kehidupan dengan keseimbangan tangis dan tawa.

*untuk semua orang yang ada di sekeliling saya, terima kasih karena telah menjadi orang yang sangat luar biasa memberikan warna dan kesempatan bagi saya untuk berkenalan dengan tawa dan air mata:)

tania is dhidha is tania

Casanova says: "Real love is feeling like being a part of that person's life almost isn't enough. It's more like a feeling that you would live in the same skin with them if you could, and share every thought, heartbeat, and emotion as one."


Isn't that romantic? Yes, it is -for me-. terutama buat yang lagi jatuh cinta atau lagi merasakan cinta yang luar biasaaaa (baca: kasmaran), ya memang quotes itu dalem banget. For me personally, yes i can feel the way of it. Ketika kita benar-benar sangat mencintai seseorang, seolah menjadi bagian dari dirinya saja tidak cukup. Seolah-olah dirinya adalah dirimu, dan saya sangat menyadari bahwa saya merasa seperti itu.


Well, some people may say "heyy, how come? how if he leaves you? don't give all of your heart to him!" ya it is not wrong. Karena setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memutuskan jalan serta caranya berperilaku. Tapi buat saya, it is my way. we all have our own way and this is my way and that is your way, as long as you dont disturb me, i will not lack any authorities on you.


Sebenarnya konsep "cara mencintai pasangan dan the way of expressing love" setiap pasangan itu bersifat pribadi. Kalau ada beberapa orang yang lebih suka show off, sembunyi-sembunyi, atau bahkan "kita pacarannya kaya temenan aja", maka saya lebih menyukai expressing my love as long as I can, not only to show him that I love him but I want the rest of the world understand that I do love him. Well, ya inilah cara saya dan cara setiap orang dalam mengungkapkan perasaan kasih masing-masing dan semuanya tidak ada yang salah, karena kasih tidak berada dalam batas benar dan salah.


Beberapa orang bilang, rasa cinta yang terlalu besar akan mengakibatkan sebuah ketergantungan antara masing-masing, namun hal itu justru indikasi yang baik menurut saya karena ketika masing-masing saling tergantung maka sesungguhnya keduanya telah menemukan "siapa yang mereka cari" dan merasa saling dihargai, why? karena keduanya akan merasakan perasaan butuh dan dibutuhkan sehingga mampu memaknai kasih dan hidup dengan lebih berharga. Pada dasarnya, bagi saya esensi terakhir inilah, perasaan butuh dan dibutuhkan, kasih dan dikasihi yang menjadi makna dari kasih dan hidup yang jauh lebih berharaga, bukan sebuah dependensi atau sekedar ketergantungan saja.


Bagi saya, mencintai memang tidak cukup hanya dengan menjadi bagian dari hidupnya tapi menjadi dirinya. Mampu merasakan apa yang dia rasakan sehingga tidak hanya sekedar simpati, namun empati. Perasaan batin yang mendalam sehingga tidak hanya saling menghargai tapi saling memahami. Seperti kata Dee: "cinta bukanlah dependensi melainkan sebuah keutuhan yang dibagi." Begitu pula yang saya jalani saat ini, terus belajar mencintai dengan semakin tulus setiap harinya. Tidak hanya menjadi diri saya yang mencintai dia, tetapi saya yang menjadi dirinya.



*untuk my baby d, "to the world you may be one person, but to one person you may be the world and you're my world, my baby d."


*untuk "my girls", "we are good, but we are not an angel. We do sin, but we aren't the devil. We are pretty, but not beautiful. We have friends, but we are not the peacemaker. We all are just small girls, in a big world trying to find someone to love. And love is like a mountain, hard to climb, but once you get the top, the view is beautiful." xoxo bebeb :)
Beberapa hari yang lalu aku baru aja selesai baca Supernova:Petir karangan Dee. Well, telat banget emang tapi ya its okay, itu artinya aku baru aja menyelesaikan seluruh judul trilogi Supernova. Tapi di luar ketelatan itu semua aku juga baru aja menemukan partner baru dalam dunia baca membaca yaitu Ariena the Koala karena kebetulan selera buku dan thinking overview kita sama.
Tapi kali ini aku ngga akan ngomongin soal partnership of reading atau sejenisnya lah. Kemarin kita sempet ngobrol panjang lebar soal buku sampe akhirnya kita sama-sama tertarik sama buku Rectoverso. Sayangnya, buku tersebut udah habis laris manis di toko buku dan kita musti nunggu bukunya. Kabar terakhir sih, hari ini buku Rectoverso uda dateng lagi -masih banyak stocknya- tapi kita masi belom tau si kapan mau beli ehehehe :)
Selain soal buku, kita sempet ngobrol juga soal life overview penulis-penulis favorit kita. Hmm dari sekian banyak quotes yang kita baca, ada salah satu statement yang sampai sekarang masih bikin otak di kepalaku ngga berhenti berfikir soal ini. Dalam blognya Dee, salah satu penulis favorit saya ada kalimat ini: "Ada satu titik tolak yang akhirnya membawa saya ke fase ini, yakni ketika saya menyadari—secara empiris—bahwa kita sesungguhnya tidak bisa mengubah siapa pun. Ini bukan kali pertama saya tiba pada pemahaman tersebut. Namun setiap kali ada pengalaman segar yang kembali mengingatkan saya, rasanya ada kedalaman baru untuk menghayati kenyataan satu itu."
Ketika aku pertama baca kalimat itu, aku sampai pada sebuah pemahaman bahwa aku perlu mengkoreksi diriku sendiri. Sometimes, aku ngerasa bahwa itu benar namun dalam penerapannya agak sulit juga. Keegoisan diri sendiri masih sering mendominasi sampai beberapa batas waktu yang setelah itu melahirkan kesadaran bahwa apa yang aku pikir belum tentu benar. Well, mungkin MENURUT SAYA benar tapi dari sisi orang lain mungkin lensaku kurang tepat atau bahkan salah dan yang terparah dari itu semua adalah lahirnya penyesalan bahwa semestinya kedua lensa tersebut mampu didiskusikan dan menemukan sebuah lensa yang jauh lebih baik bagi masing-masing.
In this case, I really agree with Dee bahwa setiap kali ada pengalaman segar yang kembali mengingatkanku ada suatu rasa yang lebih dalam untuk memahami kenyataan satu ini. Setiap pengalaman dan peristiwa mampu memberikan sebuah kedalaman penghayatan terhadap hal-hal yang ada dalam kenyataan-kenyataan hidup.