Thursday, November 27, 2008

sebuah renungan kecil di pagi hari

Mencoba menghayati makna dari setiap peristiwa dalam hidup orang-orang di sekeliling saya membuat saya menyentuh ranah kedalaman pemikiran yang mungkin sulit terungkap lewat aksara. Kejadian yang dialami mereka seolah mampu memberikan energi bagi saya untuk berpikir lebih dalam dan mampu untuk tidak sekedar memahami namun juga merasakan apa yang mereka rasakan.

Ketika seseorang menceritakan pada kita tentang sebuah pengalaman hidupnya, sesungguhnya kita tidak hanya menyediakan sebuah wadah penampung dari sekedar rasa resah mereka namun ada esensi lain yang bisa kita dapatkan yaitu kesempatan untuk belajar. Memposisikan diri kita terhadap sebuah peristiwa yang dialami orang lain mengajarkan kita memandang dari sisi mereka sekaligus pandangan kita sendiri sebagai sebuah individu atas peristiwa tersebut. Ketika kita mampu benar-benar menyatukan pandangan itu maka sebuah syukur yang teramat besar akan kita rasakan atas kesempatan untuk menjalani hidup dengan berserah diri dan menerima, serta mencintai diri apa adanya.

Setiap kejadian tidak lagi saya pandang dalam ranah baik atau buruk, benar atau salah, bahkan hitam atau putih. Kisah orang-orang di sekeliling saya tentang perpisahan, cinta, bangkit, jatuh, rapuh, tawa, dan air mata kembali membuat ingatan saya segar akan dinamika kehidupan dan kemampuan untuk mensyukuri apapun yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Seperti dalam sebuah lirik lagu "if everything has been written, so why worry?" dimana kemudian kita akan mampu menjalani sesuatu dengan lebih ikhlas dan lebih berserah diri, mencintai diri secara apa adanya.

Contoh langsung, ketika ada dari sekian orang-orang yang ada di sekeliling kita harus berkenalan dengan rasa sakit atas perpisahan, maka kita akan mampu mensyukuri kesempatan untuk masih merasakan dicintai dan mencintai seseorang. Begitu pula ketika ada dari sekian orang-orang yang ada di sekeliling kita berteman dengan rasa bahagia atas keberhasilan dalam hidupnya, maka kita akan mampu menghayati kebahagiaan sebagai sebuah dinamika kehidupan dengan keseimbangan tangis dan tawa.

*untuk semua orang yang ada di sekeliling saya, terima kasih karena telah menjadi orang yang sangat luar biasa memberikan warna dan kesempatan bagi saya untuk berkenalan dengan tawa dan air mata:)

tania is dhidha is tania

Casanova says: "Real love is feeling like being a part of that person's life almost isn't enough. It's more like a feeling that you would live in the same skin with them if you could, and share every thought, heartbeat, and emotion as one."


Isn't that romantic? Yes, it is -for me-. terutama buat yang lagi jatuh cinta atau lagi merasakan cinta yang luar biasaaaa (baca: kasmaran), ya memang quotes itu dalem banget. For me personally, yes i can feel the way of it. Ketika kita benar-benar sangat mencintai seseorang, seolah menjadi bagian dari dirinya saja tidak cukup. Seolah-olah dirinya adalah dirimu, dan saya sangat menyadari bahwa saya merasa seperti itu.


Well, some people may say "heyy, how come? how if he leaves you? don't give all of your heart to him!" ya it is not wrong. Karena setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memutuskan jalan serta caranya berperilaku. Tapi buat saya, it is my way. we all have our own way and this is my way and that is your way, as long as you dont disturb me, i will not lack any authorities on you.


Sebenarnya konsep "cara mencintai pasangan dan the way of expressing love" setiap pasangan itu bersifat pribadi. Kalau ada beberapa orang yang lebih suka show off, sembunyi-sembunyi, atau bahkan "kita pacarannya kaya temenan aja", maka saya lebih menyukai expressing my love as long as I can, not only to show him that I love him but I want the rest of the world understand that I do love him. Well, ya inilah cara saya dan cara setiap orang dalam mengungkapkan perasaan kasih masing-masing dan semuanya tidak ada yang salah, karena kasih tidak berada dalam batas benar dan salah.


Beberapa orang bilang, rasa cinta yang terlalu besar akan mengakibatkan sebuah ketergantungan antara masing-masing, namun hal itu justru indikasi yang baik menurut saya karena ketika masing-masing saling tergantung maka sesungguhnya keduanya telah menemukan "siapa yang mereka cari" dan merasa saling dihargai, why? karena keduanya akan merasakan perasaan butuh dan dibutuhkan sehingga mampu memaknai kasih dan hidup dengan lebih berharga. Pada dasarnya, bagi saya esensi terakhir inilah, perasaan butuh dan dibutuhkan, kasih dan dikasihi yang menjadi makna dari kasih dan hidup yang jauh lebih berharaga, bukan sebuah dependensi atau sekedar ketergantungan saja.


Bagi saya, mencintai memang tidak cukup hanya dengan menjadi bagian dari hidupnya tapi menjadi dirinya. Mampu merasakan apa yang dia rasakan sehingga tidak hanya sekedar simpati, namun empati. Perasaan batin yang mendalam sehingga tidak hanya saling menghargai tapi saling memahami. Seperti kata Dee: "cinta bukanlah dependensi melainkan sebuah keutuhan yang dibagi." Begitu pula yang saya jalani saat ini, terus belajar mencintai dengan semakin tulus setiap harinya. Tidak hanya menjadi diri saya yang mencintai dia, tetapi saya yang menjadi dirinya.



*untuk my baby d, "to the world you may be one person, but to one person you may be the world and you're my world, my baby d."


*untuk "my girls", "we are good, but we are not an angel. We do sin, but we aren't the devil. We are pretty, but not beautiful. We have friends, but we are not the peacemaker. We all are just small girls, in a big world trying to find someone to love. And love is like a mountain, hard to climb, but once you get the top, the view is beautiful." xoxo bebeb :)
Beberapa hari yang lalu aku baru aja selesai baca Supernova:Petir karangan Dee. Well, telat banget emang tapi ya its okay, itu artinya aku baru aja menyelesaikan seluruh judul trilogi Supernova. Tapi di luar ketelatan itu semua aku juga baru aja menemukan partner baru dalam dunia baca membaca yaitu Ariena the Koala karena kebetulan selera buku dan thinking overview kita sama.
Tapi kali ini aku ngga akan ngomongin soal partnership of reading atau sejenisnya lah. Kemarin kita sempet ngobrol panjang lebar soal buku sampe akhirnya kita sama-sama tertarik sama buku Rectoverso. Sayangnya, buku tersebut udah habis laris manis di toko buku dan kita musti nunggu bukunya. Kabar terakhir sih, hari ini buku Rectoverso uda dateng lagi -masih banyak stocknya- tapi kita masi belom tau si kapan mau beli ehehehe :)
Selain soal buku, kita sempet ngobrol juga soal life overview penulis-penulis favorit kita. Hmm dari sekian banyak quotes yang kita baca, ada salah satu statement yang sampai sekarang masih bikin otak di kepalaku ngga berhenti berfikir soal ini. Dalam blognya Dee, salah satu penulis favorit saya ada kalimat ini: "Ada satu titik tolak yang akhirnya membawa saya ke fase ini, yakni ketika saya menyadari—secara empiris—bahwa kita sesungguhnya tidak bisa mengubah siapa pun. Ini bukan kali pertama saya tiba pada pemahaman tersebut. Namun setiap kali ada pengalaman segar yang kembali mengingatkan saya, rasanya ada kedalaman baru untuk menghayati kenyataan satu itu."
Ketika aku pertama baca kalimat itu, aku sampai pada sebuah pemahaman bahwa aku perlu mengkoreksi diriku sendiri. Sometimes, aku ngerasa bahwa itu benar namun dalam penerapannya agak sulit juga. Keegoisan diri sendiri masih sering mendominasi sampai beberapa batas waktu yang setelah itu melahirkan kesadaran bahwa apa yang aku pikir belum tentu benar. Well, mungkin MENURUT SAYA benar tapi dari sisi orang lain mungkin lensaku kurang tepat atau bahkan salah dan yang terparah dari itu semua adalah lahirnya penyesalan bahwa semestinya kedua lensa tersebut mampu didiskusikan dan menemukan sebuah lensa yang jauh lebih baik bagi masing-masing.
In this case, I really agree with Dee bahwa setiap kali ada pengalaman segar yang kembali mengingatkanku ada suatu rasa yang lebih dalam untuk memahami kenyataan satu ini. Setiap pengalaman dan peristiwa mampu memberikan sebuah kedalaman penghayatan terhadap hal-hal yang ada dalam kenyataan-kenyataan hidup.