Tuesday, October 20, 2009

intervensi atas otonomi diri

“If life is a catwalk, then everyone will conceitedly come and go, ignoring anyone else but their self…”

Otoritas diri merupakan salah satu hal yang menurut saya bersifat hakiki. Hal yang menurut saya pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang namun pada aplikasinya berada di area abu-abu yang terbentur berbagai macam hal sana-sini, kanan dan kiri. Saya heran ketika kemudian saya tersakiti ketika otoritas diri saya diintervensi sana-sini namun ternyata saya sendiri mengintrospeksi diri bahwa saya sendiri juga mengintervensi otoritas diri orang lain. Saya duduk termenung sendiri di sini dan menyadari bahwa saya harus berbesar hati. Siap diintervensi dan belajar untuk tidak terus menerus mengintervensi.


Intervensi atas otoritas diri menurut saya nyaris serupa dengan berbagai quotes manis yang akrab di telinga saya dan saya publikasikan bahkan kadang saya modifikasi sendiri menjadi “quotes saya”. Saya umpamakan otoritas diri dengan catwalk dan panggung sandiwara. Sama-sama panggung publisitas luar biasa yang penuh sorot cahaya yang dipicingi oleh banyak mata. Saya umpamakan hidup dengan catwalk dimana orang-orang lalu lalang melewati dan meninggalkan panggung itu dengan angkuhnya dan tidak peduli dengan orang lain hanya peduli pada dirinya sendiri. Refleksi atas otoritas diri membuat saya berpikir jika sikut menyikut dalam intervensi otoritas diri dan otoritas diri orang lain merupakan hal yang kadang tidak disadari dan tidak pernah disadari mungkin saja kita juga saling menyakiti. Saling menyakiti otoritas satu sama lain dengan angkuh dan tidak peduli namun hanya berpikir bagaimana untuk mempertahankan atau justru memperkaya otoritas diri sendiri.

Saya umpamakan otoritas diri sebagai bagian dari panggung sandiwara. Jika hidup adalah sandiwara besar sedikit orang yang rela menjadi pemain, sementara yang lain saling baku hantam berlomba menjadi sutradara, mengira dengan kekuasaan bisa menentukan jalan cerita. Siapapun di dunia ini, manusia darimana pun pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk berkuasa. Porsi kekuasaan itu sendiri berbeda-beda, ada yang sudah cukup puas untuk berkuasa dalam skala kecil namun ada juga yang begitu tamak untuk menyodok sana-sini untuk menguasai hampir semua hal. Saya rasa ingin menguasai itu tidak salah, itulah sifat dasar manusia. Tinggal bagaimana kita mengendalikannya, tinggal bagaimana kita menjaganya agar tidak begitu berlebihan dan berada tetap di alurnya.


Saya diintervensi dan (tanpa disadari) saya juga mengintervensi. Harusnya saya tidak boleh merasa tersakiti ketika saya diintervensi karena ternyata saya sendiri juga menyakiti. Dan kesadaran atas kenyataan itu baru saya dapati malam ini. Baru saya pahami malam ini ketika saya harus menangis tersakiti dan merefleksikan diri habis-habisan hingga terisak tak bersuara. Menangis dalam hening.


Kali ini saya akan belajar lebih berbesar hati. Lebih menerima apapun yang terjadi tanpa terlalu banyak mengintervensi. Saya tidak bisa menjanjikan saya tidak akan pernah mengintervensi karena saya labil dan tidak lepas dari ketidaksengajaan serta sifat-sifat saya yang ingin mendominasi mengatur sesuai alur yang saya tetapkan sendiri. Saya akan belajar berbesar hati. Belajar membiarkannya menguasai dirinya sendiri namun memastikan bahwa tangan sayalah yang akan tetap selalu digenggamnya.


Terima kasih untuk sebuah renungan sederhana dan cerminan luar biasa yang saya dapatkan malam ini…

My room, 16 Oktober 2009.

Sebuah cerminan yang membawa pada isakan tak bersuara

Saturday, September 19, 2009

Apun

Terhitung ini adalah Idul Fitri pertama saya tanpa kehadiran kakek saya yang meninggal bulan Juni lalu. Saya memanggil kakek saya dengan panggilan "Apun", nama yang katanya saya ciptakan waktu saya balita dulu ketika memanggil kakek. Saya sendiri tidak tau apa artinya kata "Apun" tapi dugaan saya mungkin saya cedal kala itu dan kata "Opung" menjadi kata "Apun", entahlah saya juga kurang tau pasti.

Ketiadaan Apun di tengah-tengah kami lagi memberikan ambience yang berbeda khususnya pada moment Idul Fitri kali ini. Dimulai dari tidak adanya kakek yang saya sungkemi setelah sholat Idul Fitri hingga sesak yang menggelayut saat saya mengemas kue-kue Lebaran kesukaan saya dan Apun. Apun suka sekali kastengel sama seperti saya. Setiap Lebaran tiba saya selalu menyiapkan masing-masing satu toples khusus kastengel untuk saya sendiri dan untuk Apun. Begitu pula ketika kemarin sore saya dan adik saya membeli beberapa barang di salah satu supermarket sesak itu kembali bergelayut saat saya melewati deretan rak makanan-makanan instan siap saji. Dulu Apun sering minta dibelikan bubur-bubur instan siap saji banyak sekali.

Hal lain yang "baru" dalam Idul Fitri kali ini dan cukup terasa bagi kami semua adalah berpindahnya acara kumpul-kumpul yang biasanya selalu diadakan di rumah Apun kini diadakan di rumah saya. Nenek saya akan tinggal di sini dan tentunya saudara-saudara saya yang lain juga akan datang ke rumah saya. Satu hal yang cukup menggembirakan adalah sebagian besar saudara-saudara saya yang tidak tinggal di Pulau Jawa akan pulang kali ini.

Satu hal yang masih melekat jelas di benak saya dan mungkin tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup (kecuali disebabkan amnesia dsb) adalah ketika saya masih kecil sekali (mungkin usia TK atau SD) keluarga besar kami berkumpul semua di rumah Apun dan kami membuat berbagai hidangan Idul Fitri bersama. Nenek dan para mama membuat kue, sementara Apun, saya, dan beberapa sepupu saya membuat es krim dari es batu dan garam yang tidak pernah bisa saya hafal tata cara pembuatannya. Bagi saya, moment itu adalah satu halaman dari berlembar-lembar halaman waktu yang saya habiskan dengan Apun dan keluarga besar saya.

Rest in peace, Apun. We love you so much and missing you a lot. See you there in heaven, I love you.

Thursday, September 17, 2009

Tokoh Heroik Sepanjang Masa

Saat kecil dulu saya senang sekali menonton televisi khususnya program-program yang menampilkan tokoh-tokoh superhero yang punya "kekuatan super" atau tokoh-tokoh baik hati. Saya ingat beberapa program favorit saya kala itu antara lain Sailor Moon, Card-captor Sakura, Wedding Peach, Power Ranger, hingga Siluman Ular Putih. Saya terpesona akan tokoh-tokoh heroik yang baik hati dan punya kekuatan super human untuk menolong orang lain.

Di antara seluruh program tersebut yang paling berkesan bagi saya adalah Sailor Moon, Power Ranger, dan Siluman Ular Putih. Masih lekat di benak masa kecil saya dulu saya begitu senang bermain "Sailor Moon-Sailor Moonan" dan "Power Ranger-Power Rangeran" bersama saudara sepupu saya. Ketika bermain Sailor Moon saya biasanya selalu kebagian jadi Sailor Venus, tokoh yang girly dan lovely (soalnya dari Planet Venus, planet cinta) berkostum oranye. Entah kenapa saya suka tokoh ini, saya suka menjadi Sailor Venus yang rambutnya kuning panjang sekali dan berpita oranye. Saya bahkan pernah menjahitkan sebuah baju yang berpotongan persis dengan kostum Sailor ini. Dulu setiap kali bermain saya selalu menjadi Sailor Venus dan sepupu saya kalau tidak menjadi Sailor Mars ya Sailor Merkuri. Biasanya kami main dengan imajinasi, berpura-pura ada musuh bohongan yang diserang dengan berbagai kekuatan ala planet-planet Galaksi Bimasakti.

Lain lagi cerita ketika saya bermain "Power Ranger-Power Rangeran". Karena anggota perempuan Power Ranger hanya dua yaitu Ranger Pink dan Ranger Kuning tentunya hanya posisi itu yang dimainkan dalam permainan antara saya dan sepupu saya. Bedanya, ketika "Sailor Moon-Sailor Moonan" tokoh-tokoh yang diperankan bisa dipilih secara suka rela dalam "Power Ranger-Power Rangeran" selalu saja diawali dengan ritual rebutan menjadi tokoh "Ranger Pink" antara saya dan sepupu saya. Mengapa Ranger Pink yang diperebutkan? Jawabannya sederhana sekali, dalam kostum Power Ranger hanya Ranger Pink yang kostumnya pakai rok. Ranger Kuning meskipun perempuan tapi kostumnya tidak pakai rok. Seringkali ritual rebutan peran itu memakan waktu lama dan akhirnya saya dan sepupu saya gantian peran meskipun kadang saya sering curang-curang juga hehe. Permainan ini pun mirip dengan permainan "Sailor Moon-Sailor Moonan" dimana kami akan pura-pura berperang melawan monster rekaan dengan berbagai senjata bohongan dan kendaraan-kendaraan canggih yang terdiri dari tumpukan bantal dan guling.


Dari kedua program favorit tersebut yang cukup sulit dimainkan adalah "Siluman Ular Putih". Bukan karena sulitnya bertransformasi menjadi ular namun saya dan sepupu saya tidak tau mau jadi tokoh yang mana ketika bermain "Siluman Ular Putih-Siluman Ular Putihan". Kesan yang hingga kini masih melekat di benak saya adalah ketika kala itu saya mengira bahwa Siluman Ular Putih itu sungguhan dan benar-benar hidup di belahan bumi lain yang jauh sekali. Saya bahkan pernah menulis surat kepada Siluman Ular Putih yang berkata bahwa dia harus berhati-hati karena ada rahib yang ingin menangkapnya. Tentu saja tulisan tersebut saya tulis dengan "huruf Cina ngawur" karya saya sendiri. Saya bahkan tidak mengerti saya menulis apa pokoknya hanya kumpulan garis hasil 100% mengarang indah dan total huruf rekaan semuanya. Saya pernah meminta Mama saya untuk mengirimkan surat itu dan sampai sekarang saya tidak pernah mendapat balasan (tentu saja, karena alamat yang saya tulis di amplop juga hanya kumpulan garis tidak beraturan). Saya juga masih ingat dulu ketika saya ingin menonton "Siluman Ular Putih" di televisi saya harus berebut dengan paman saya yang hobi nonton serial "Rambo" yang juga ditayangkan pada jam yang sama. Kalau sudah begitu saya selalu mengancam, "Nanti tak bilangin sama Siluman Ular Putih lho biar disihir". Ya sihir, kala itu saya sepertinya terpesona pada sihir sekaligus sulap yang dikuasai oleh Siluman Ular Putih. Selain itu saya juga terpesona pada tata rambut Siluman Ular Putih yang lucu sekali, saya sering mereka-reka rambut saya dengan puluhan jepit rambut kala itu agar bisa memiliki rambut seperti si Siluman.

Hingga kini sebenarnya saya rindu pada program-program tersebut. Jalan ceritanya imajinatif sekali memang jika dilihat dari sudut pandang saya yang sudah besar ini. Namun bagi saya yang kala itu baru seusia TK, tokoh-tokoh tersebut menginspirasi dan menjadi teman imajinatif saya yang membawa saya sesaat merasakan sensasi menjadi tokoh heroik dengan kekuatan super untuk menolong sesama.

Bercermin dengan Hati

"mirroring is taking the time to listen and more..."

Mirroring atau bercermin seringkali lebih dikenal dengan istilah introspeksi. Bagi saya, bercermin dengan hati merupakan hal yang menyenangkan sekaligus menyedihkan. Saya sering bilang bahwa perempuan berhati sembilan berotak satu dan laki-laki berhati satu berotak sembilan, namun pada dasarnya berapapun jumlah hati itu tetap ada dua sisi pribadi dalam hati kita. Saya selalu menemui bahwa dalam diri saya terdapat dua buah sisi yang mungkin diibaratkan peri baik dan peri buruk yang selalu berkompetisi mempersuasi saya bertindak atau tidak bertindak. Sahabat terbaik dalam diri saya adalah diri saya sendiri, namun musuh terjahat dalam diri saya juga diri saya sendiri. Ada saat dimana kita berkaca dan begitu ingin menutup telinga dari salah satu sisi. Ada pula saat dimana kita berkaca dan mau mendengar kedua sisi namun tidak pernah benar-benar berani.

Berdiskusi dengan hati, itulah yang sering saya lakukan selama ini. Bertanya secara langsung kepada mahluk yang bernama hati yang tinggal di salah satu rongga tubuh ini dan belajar untuk mau mendengar apa yang disampaikannya. Berdiskusi dengan hati berarti berdiskusi dengan sahabat dan berkompromi dengan musuh sekaligus. Merasakan sensasi pikiran positif yang susah payah dibangun kemudian dihancurkan lagi sedikit demi sedikit oleh kegalauan dan keresahan dan kembali susah payah membangun benteng positif yang lebih kuat dari sebelumnya. Berdiskusi dengan hati berarti menjatuhkan diri sendiri kemudian membangunnya lagi menjadi sesuatu yang lebih baik. Tidak ada yang lebih mengerti daripada hati kita sendiri. Tidak ada yang lebih memahami dibandingkan sahabat terbaik atau musuh terjahat dalam diri kita sendiri.

Bercermin dengan hati kadang menimbulkan kesukaan kadang juga kelaraan. Kegembiraan karena berhasil membangun kekuatan murni dari dalam diri sendiri namun juga kelaraan karena dijatuhkan juga oleh diri sendiri. Bercermin dengan hati memungkinkan kita untuk mencicipi perih tersungkur jatuh memeluk tanah dan mereguk suka cita atas kekuatan yang dimiliki diri. Bercermin dengan hati membawa kita lebih dekat dengan diri sendiri, dengan sahabat terbaik sekaligus musuh terjahat.

Sunday, September 13, 2009

Dhidha; Christa Adhi Dharma

Namanya Christa Adhi Dharma, biasa dipanggil Dhidha. Bukan Dida, bukan Dhida, atau Didha tapi Dhidha. Seperti pertanyaan saya dulu padanya, "Kalau nulis nama kamu itu Dhida atau Didha?" dan ternyata dugaan saya salah semua karena cara menulis namanya adalah Dhidha, pakai "H" di kedua penggalan suku katanya.

Saya mengenal Dhidha dengan segudang prestasi dan kecerdasannya. Dia memang tidak langganan ber-IP sempurna setiap semesternya tapi nilai akademisnya tidak pernah mengecewakan dan dia luar biasa untuk diajak berdiskusi tentang berbagai hal menarik meskipun kadang berujung pada saya ngambek kalau kadang-kadang pendapat kita berbeda. Tapi toh namanya juga hak berpendapat, sah-sah saja jika pendapat kami berbeda. Dia selalu memukau dengan pendapat-pendapat yang tercetus dari bibirnya, dia cerdas dan berpengetahuan luas. Saya sering bertanya berbagai hal padanya dan dia hampir selalu tahu. Dia sangat suka membaca seperti saya, bedanya saya suka buku-buku bergenre tertentu tapi dia suka hampir semua buku. Menurut saya seperti inilah laki-laki sungguhan, cerdas berotak sembilan. Dia berbakat hampir di semua bidang khususnya yang "kecowok-cowokan" (maksudnya maskulin, bukan cowok bohongan). Pernah menjadi komandan delapan paskibraka, atlet sepatu roda, ketua OSIS, ketua Greeting Camp, dan berbagai prestasi lainnya yang bisa membuat iri.

Secara fisik dia istimewa. Tergolong dalam kategori manusia tampan dan nikmat dipandang. Badannya tegap dan berpostur tinggi. Dhidha tidak kurus tapi juga tidak gemuk, pokoknya proporsional jika dipandang. Giginya sempurna dan jika tersenyum saya selalu terpesona. Lehernya kokoh, menurut saya itu adalah salah satu bagian paling seksi dari dirinya. Tidak hanya itu sih bagian yang seksi, matanya, senyumnya, kepalanya, bahunya, tangannya, semuanya seksi sekali.

Dhidha itu penyabar, penyayang, dan perhatian. Meskipun sedang sibuk dia tetap selalu perhatian, saat sedang tidak sibuk dia berikan hujan perhatian. Dia penyabar, hampir tidak pernah marah kecuali kalau sedang terlalu capek atau stress kerjaan jadi agak sedikit lebih sensitif, wajarlah seperti manusia-manusia pada umumnya. Dia selalu tepat janji, termasuk janji membantu membuat power point jam empat pagi. Dia protective, melindungi setiap hal yang disayanginya. Dia selalu melihat dalam-dalam ke mata orang yang disayanginya, matanya begitu jernih dan teduh. Pelukannya begitu menenangkan.


Namanya Christa Adhi Dharma, biasa dipanggil Dhidha. Dia adalah sang pencuri hati saya. Dia membuat saya tidak bisa berhenti memikirkannya sepanjang hari. Dia membuat saya berdebar setiap kali saya melihatnya. Dia membuat saya merasa aman setiap kali berada di sampingnya. Dia membuat saya tidak pernah merasa kesepian kemanapun saya melangkah. Dia membuat saya merasa berani melakukan berbagai hal yang saya kira tidak mungkin bisa saya lakukan. Dia membuat saya merasa luar biasa nyaman dan tenang.

Namanya Christa Adhi Dharma, biasa dipanggil Dhidha. Dia adalah sang pencuri hati saya dan saya bersyukur menjadi orang yang dicintainya.

Tuesday, September 1, 2009

You Do Something To Me

i was mighty blue
thought my life was through
till the heavens opened
and i gazed at you
wont you tell me dear
why,when you appear
something happens to me
and the strangest feeling goes through me?
you do something to me
something that simply mystifies me
tell me,why should it be
you have the power to hypnotize me?
let me live neath your spell
do do the voodoo that you do so well
you do something to me
that nobody else can do

Saturday, August 22, 2009

love

Taken from:
Stephen R. Covey. 7 Habits. Free Press, 1989. Page. 79

At one seminar when I was speaking of the concept of proactivity, a man came up and said,
"Stephen, I like what you are saying. But every situation is different. Look at my marriage. I'm really worried. My wife and I just don't have the same feeling of each other we use to have. I guess I just don't love her anymore and she doesn't love me. What can I do?"

"The feeling isn't there anymore?" I asked.
"That's right," he reaffirmed. "And we have three children we really concerned about. What do you suggest?"
"Love her," I replied.
"I told you, the feeling isn't there anymore."
"Love her."
"You don't understand. The feeling of love just isn't there."
"Then love her. If the feeling isn't there, that's a good reason to love her."
"But how do you love when you don't love?"

"My friend, love is a verb. Love - the feeling - is a fruit of love, the verb. So love her. Serve her. Sacrifice. Listen to her. Emphatize. Appreciate. Affirm her. Are you willing to do that?"

Only reactive people make it a feeling, and they are driven by it. Hollywood has led us to believe that we are not responsible, that we are a product of our feelings. But Hollywood version doesn't describe the reality. If our feelings control our actions then we've given up responsibility and empowered them to do so.

Proactive people make love a verb. Love is something you do: the sacrifice you make, the giving of self, like mother bringing newborn in the world. If you want to study love, study those who sacrifice for others, even for people who offend or not love in return. Love is a value that actualized through loving actions. Love, the feeling, can be recaptured.

Thursday, August 20, 2009

meracau!

Tulisan ini berisi berbagai kalimat hasil racauan saya. Kali ini saya hanya sedang ingin meracau jadi saya tidak bertanggung jawab atas berbagai kebosanan, ketawaan, atau ketidak pentingan yang mungkin akan muncul setelah anda membaca tulisan di bawah ini! Terima kasih.

1. Hari ini saya bereksperimen dengan satu resep baru. Iseng mengganti bahan udang dengan ayam ternyata hasilnya aneh namun saya malah menemukan satu inspirasi resep baru yang mungkin bisa dicoba entah kapan nanti deh.

2. Saya merasa kurang komunikatif. Astaga, padahal saya kuliah di komunikasi tapi saya merasa sedang kurang komunikatif. Saya ngga ngerti deh, intinya saya sedang berbicara dan kehabisan bahan pembicaraan begitu saja bahkan belum sampai di tengah jalan. Oh my, betapa anehnya oh anehnyaaa aku hari ini -___-"

3. Saya abis nonton infotainment dan parahnya oh parahnya isinya lagi-lagi tentang pasangan artis yang kawin-cerai. Oh my, gilerrrr aja ada artis yang pengen nikah setiap tahun terus ada artis yang udah mau cerai padal belum lama nikah dan kasiannya si istri (artis juga) musti menjanda di usia yang masih sangat muda (astaga, si artis ini kalau ngga umurnya sama kaya saya ya setaun di bawah saya). Makin ngga bener aja deh ini isinya infotainment -_-" (*oh tania, salah sendiri kamu nonton infotainment! haha).

4. Saya kepengen nonton tapi seriusan deh saya ngga tau mau nonton apa. Dan kalau pun misalnya kemudian nanti langsung diajakin nonton sama pacar saya masih tidak yakin apa mau nonton apa tidak soalnya sejujurnya kalau nanti diajakin ke coffee shop tentu saja saya akan lebih memilih nangkring di coffee shop haha :p

5. Saya lagi seneng banget browsing-browsing online shop. Lebih banyak milih-milih terus ngiler terus nanya-nanya soal baju-bajunya terusan abis itu memutuskan untuk ngga jadi beli dengan mempertimbangkan berbagai alasan seperti: "iya kalau baju itu jatuhnya bagus kalau aku pake", "ah bahan gitu doank harganya serem", "kalau pre-order gitu kapan nyampenyaaa?" hehehe gitu deh.

6. Saya pusing. Saya ngga tau mau nulis apa. Intinya cuman saya mau meracau dan saya sedang pusing. Sekian dan terima kasih.

Saturday, August 15, 2009

saya bangga dengan pacar saya!

Pemberitahuan sebelumnya:
Tulisan ini merupakan aktualisasi dari opini pribadi saya terhadap pacar saya sehingga isinya akan bersifat personal dan tidak boleh diganggu gugat. Ini pendapat saya gitu lohhh! :p

Saya dibesarkan dalam keluarga yang dekat dengan dunia Angkatan Bersenjata Indonesia. Kakek dan Om saya yang berkecimpung dalam dunia TNI AU ditambah dengan saudara-saudara sepupu saya yang lebih besar menjadi anggota baris-berbaris di sekolahnya mengimpresi saya akan "kedisiplinan" yang mengesankan. Sejak kecil, saya senang sekali melihat orang-orang yang berbaris. Saya senang melihat saudara sepupu saya berlatih baris seorang diri di rumah nenek dan saya hampir selalu menonton tayangan upacara 17 Agustus di Istana Negara yang disiarkan di televisi. Saya selalu kagum akan kemampuan mereka menghentakkan kaki seirama dan bisa membentuk formasi-formasi barisan yang indah. Hal khusus yang paling saya tunggu-tunggu adalah bagian pembawa baki menerima bendera untuk dikibarkan dari Presiden dan bagian pengibaran oleh tiga orang paskibraka dari pasukan delapan. Dalam benak masa kecil saya, saya sering bertanya-tanya,"bagaimana ya ko bisa mereka tidak salah langkah, langkah kaki mereka bisa sama, dan bagaimana bisa mbak pembawa baki itu ngga jatuh waktu turun tangga habis menerima bendera padahal dia nggak lihat tangga?". Bagian lain yang memunculkan desir-desir rasa yang menurut saya agak ambigu antara rasa senang dan seram adalah bagian ketika pemimpin upacara yang biasanya berasal dari ABRI mulai menginstruksikan komando-komando. Bagi saya, suara setiap pemimpin upacara terdengar sangat tegas dan kharismatik meskipun saya seram juga kalau mendengar suara keras.

Meskipun saya senang sekali melihat orang berbaris, pada kenyataannya saya tidak pernah sama sekali menjadi anggota tim baris-berbaris (atau yang lebih dikenal dengan Tonti atau Paskibra) di sekolah saya baik waktu SMP atau SMA. Terhitung pengalaman saya berbaris hanya sekali seumur hidup menjadi tim pengibar bendera SD saya waktu kelas saya kebagian jatah bertugas upacara. Itu pun hanya sekali saja karena selanjutnya setiap kali kelas saya kebagian jatah bertugas upacara, saya selalu menjadi MC upacara. Meskipun saya tidak bisa menjadi anggota tim baris berbaris, saya tetap menyimpan sebuah bentuk kekaguman yang luar biasa terhadap baris-berbaris dan Paskibraka. Saya senang melihat tim Tonti di sekolah saya latihan apalagi jika ada acara-acara penting seperti upacara 17 Agustus atau ulang tahun sekolah. Saya juga masih rajin mengikuti upacara kemerdekaan di televisi setiap tanggal 17 Agustus.

Selain terpesona dengan hentakan kaki para paskibra, sejujurnya saya juga suka dengan potongan style para paskibraka ini. Ini persoalan selera, dan menurut saya kesan maskulin yang saya dapat dari para paskibraka yang umumnya tinggi, berbahu lebar, tegap, dan berambut cepak mampu mempesona saya. Menurut saya, maskulinitas tercermin dari sosok seperti itu meskipun menurut saya tidak semua orang cocok juga dengan style ini.

Meskipun saya tidak benar-benar berkecimpung dalam dunia baris-berbaris ini, saya kecipratan ilmu juga dari pacar saya yang cukup "master" dalam urusan baris-berbaris. Satu nilai plus buat saya karena secara fisik, dia tipe saya banget deh. Konsep maskulinitas saya di atas benar-benar tercermin dalam dirinya. Intinya, he suits my prince of dream at all.

Saya bangga sekali dengan pacar saya. Ini jujur dan objektif, saya sungguh sangat bangga. Satu prestasi dengan menjadi Komandan Pasukan Delapan Paskibraka Provinsi diraih pacar saya dan itu sungguh membanggakan. Dulu waktu pacar saya cerita tentang komandan pasukan delapan, saya bahkan ngga ngerti pasukan delapan itu apa? Yang saya tau hanya nanti ada serombongan orang berbaju putih yang berbaris, ada mbak yang bawa baki, dan ada tiga orang yang maju menaikkan bendera. Ternyata setelah saya tahu, pacar sayalah orang yang kebagian menaikkan bendera, bagian yang selalu membuat saya berdesir setiap kali melihat upacara kemerdekaan di istana via televisi. Kebanggaan saya atas hal ini mungkin harusnya disampaikan dalam rangkaian kalimat yang lebih sempurna dengan memperhatikan diksi dan frasa, namun sungguh saya bahkan tidak menemukan kata-kata lain lagi untuk menunjukkan betapa bangganya saya terhadap pacar saya.

Saya menyimpan video ketika pacar saya bertugas di Gedung Agung sebagai komandan delapan tersebut. Saya mengikuti video yang berdurasi cukup panjang itu dengan runtut. Ada kebanggaan membuncah dalam perasaan saya ketika melihat tiga orang laki-laki melangkah tegap menuju tiang bendera setinggi 17 meter (kata pacar saya tingginya segitu, pokoknya tiangnya tinggi sekali) dan sang komandan yang membawa bendera berada tepat di tengah merupakan pacar saya. Perasaan saya kembali berdesing ketika mendengar suara yang sangat saya kenal meneriakkan komando-komando kepada pasukannya. Agak berbeda memang mendengar suaranya yang biasanya lembut kemudian terdengar keras dan tegas. Namun saya tetap bangga, saya senang sekali.

Yang saya tahu dalam dunia paskibraka adalah tentang kedisiplinan. Kebetulan, salah satu kenalan saya pernah menjadi pembawa baki di upacara kemerdekaan dan dia bercerita tentang kedisiplinan yang luar biasa di karantina paskibraka. Ketika saya banyak bertanya dengan pacar saya tentang karantina paskibraka dan mendengar ceritanya ketika melatih paskibraka junior setiap bulan Agustus, saya semakin terkesan dan saya bahkan tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya mengikuti kedisiplinan tingkat tinggi begitu.

Lastly, sejujurnya saya speechless. Kamus di otak saya tidak bisa menemukan kata-kata yang cocok untuk menyampaikan betapa bangganya saya terhadap prestasi yang diraih pacar saya ini. Setidaknya satu bukti nyata sudah dilakukannya sebagai wujud pengabdiannya kepada negara. Intinya, saya sangat bangga terhadap Christa Adhi Dharma, pacar saya.


p.s. ini foto ketika pacar saya bertugas jadi Komandan Delapan PPI DIY di Upacara Kemerdekaan di Gedung Agung, 17 Agustus 2006.

A Cup of Coffee and A Piece of Childhood Memories

Saya sedang menonton televisi sambil ditemani oleh secangkir cappuccino favorit saya siang ini. Sebuah program infotainment yang menampilkan lagi berita soal video Marshanda yang diupload di youtube dimana salah satunya Marshanda mendedikasikan video tersebut kepada salah satu teman Sekolah Dasarnya yang dulu selalu memusuhinya. Saya menyeruput cappuccino saya, terlintas di benak saya memori masa kecil saya ketika saya masih menempuh pendidikan tingkat Sekolah Dasar. Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling lama saya tempuh, enam tahun saya habiskan dengan teman-teman yang sama dengan kepolosan dan keluguan tawa ceria khas anak-anak.

Saya belum genap berusia enam tahun ketika saya menduduki bangku Sekolah Dasar. Agak sulit menemukan sekolah yang mau menerima murid kelas satu dengan usia belum genap tujuh tahun waktu itu. Tentu saja hal itu berbeda dengan sekarang. Sekolah Dasar jaman sekarang mau menerima murid-murid di bawah tujuh tahun dengan kemampuan dasar akademis yang baik, sedangkan jaman saya dulu memasuki Sekolah Dasar masih berdasarkan perhitungan usia murid. Saya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar negeri milik TNI AU bernama SDN Angkasa I. Belakangan sekolah saya berubah nama menjadi SDN Adisucipto II. Sebenarnya sekolah saya ini berlokasi tidak terlalu jauh dari rumah saya, akan tetapi tidak satu pun murid yang saya kenal baik sebagai tetangga atau sebagai teman TK yang bersekolah di sini. Ingatan saya mundur lagi, ah saya baru ingat ternyata saya toh tidak punya teman tetangga seusia dan saya kan tidak lulus TK. Mungkin lebih tepatnya saya mengundurkan diri dari TK. Saya ingat seharusnya saya naik ke kelas B (atau lebih dikenal dengan kelas “enol besar”) namun saya lebih memilih untuk mengundurkan diri dan nekat melanjutkan ke bangku Sekolah Dasar. Tentu saja waktu itu saya belum berpikir menggunakan logika atau alasan-alasan rasional lainnya saat memutuskan untuk tidak meluluskan diri di bangku TK. Saya hanya bermodal merengek minta sekolah di SD karena saya sudah bisa menulis dan berhitung sementara saya bosan di TK hanya menyanyi dan menggambar terus. Mungkin Mama saya bosan juga mendengar rengekan saya, akhirnya saya dengan senang hati tidak menaikkan diri ke kelas B namun melompat ke kelas satu SD.

Saya masih ingat hari pertama saya bersekolah di SD saya diantar oleh nenek saya naik becak yang kemudian menjadi kendaraan antar jemput saya setiap hari sepanjang kelas satu SD. Mama dan Papa saya keduanya bekerja, nenek dan kakek saya juga sibuk jadi saya berlangganan becak yang mengantar jemput saya setiap hari ke sekolah. Hari pertama saya sekolah di SD saya ditunggui oleh nenek saya. Di kelas itu jumlah muridnya tidak lebih dari 30 orang murid dan semuanya tampak sudah kenal kecuali saya. Saya menjadi anak pendiam yang bahkan untuk mengingat nama teman-teman saya saja susah sekali. Ketiga puluh anak ini merupakan teman-teman saya hingga lima tahun selanjutnya. Tidak bertambah, justru berkurang. Beberapa teman-teman kami datang dan pergi di kelas-kelas selanjutnya hingga tersisalah 20 orang siswa yang kemudian menjadi teman baik hingga saat ini karena pengalaman enam tahun menjadi manusia kecil bersama yang penuh dengan tangis dan tawa khas anak-anak.

Saya ingat di waktu SD, guru kelas satu saya bernama Ibu Ning. Beliau sangat sabar mengajari saya menulis huruf tegak bersambung (inilah kegagalan saya hingga sekarang, saya tidak pernah benar-benar bisa menulis huruf tegak bersambung dengan cantik). Beliau sangat sabar mengajari saya matematika dengan sempoa warna-warni dan beliau juga sangat perhatian kepada seluruh murid-muridnya. Saya pernah sekali ditabrak sepeda oleh anaknya Ibu Ning yang duduk di kelas enam waktu itu. Lutut saya terluka sakit sekali dan Ibu Ning memarahi anaknya habis-habisan di sekolah. Saya tidak ingat sih penyebab saya jatuh itu tertabrak atau ditabrak, hanya saja kalau mengingat bahwa saya sedikit bermasalah dengan keseimbangan (berdiri dengan dua kaki saja saya sering kepentok-pentok) kemungkinan waktu itu saya sedang tidak seimbang. Saya juga punya guru yang sangat dekat dengan angkatan saya (harap diingat kembali, angkatan saya ya cumin dua puluh butir manusia itu-itu saja). Beliau dekat karena sudah tiga kali menjadi wali kelas kami yaitu ketika kami duduk di kelas dua, empat, dan lima. Beliau sangat baik hati dan pandai melucu. Saya ingat dulu ketika kami kelas empat atau lima, istri beliau sakit. Maka, kami sekelas berinisiatif untuk patungan dan beramai-ramai menjenguk istri beliau yang sedang sakit. Kalau diingat-ingat lagi konyol juga sih waktu itu, dua puluh orang (atau lebih satu atau dua orang saya tidak terlalu ingat) beramai-ramai ke rumah gurunya. Kemudian saya juga ingat di kelas tiga, wali kelas saya merupakan guru ter-“killer” di sekolah. Beliau galak sekali. Saya ingat waktu itu sekali seumur hidup saya di SD saya begitu takut karena saya lupa membawa PR saya. Akhirnya saya menemui ibu guru dengan sikap siap dimarahi dan berkata bahwa saya lupa membawa PR saya. Untungnya ibu guru tidak memarahi saya, tapi tetap saja saya mendapat hukuman menyalin PR tersebut di selembar folio. Hehe jika ingat pengalaman itu saya sering tertawa sendiri, waktu itu saya begitu takut ketinggalan PR namun ketika menginjak bangku SMP&SMA saya ko tidak begitu menyesal ya kalau ketinggalan PR hehe.

Waktu SD dulu, Mama pernah melarang saya jajan sembarangan. Saya tidak boleh jajan es lilin, tidak boleh jajan harum manis, tidak boleh jajan cimol-cimolan. Hampir sepanjang sekolah itu saya menurut tidak jajan makanan-makanan itu hingga saya nyaris jarang sekali ke kantin. Saya membawa tempat minum berbentuk teropong yang di dalamnya berisi air putih dan teh atau sirup sebagai pengganti es lilin yang begitu menggoda. Saya sering iri pada teman-teman saya yang bisa jajan es lilin sesuka hati, hingga akhirnya suatu hari saya (Alhamdulillah) terpaksa makan es lilin juga. Ceritanya hari itu dokter gigi datang ke sekolah dan gigi saya dicabut sehingga rasanya sakit sekali. Teman-teman bilang supaya gigi saya tidak terus berdarah dan sakit saya harus makan es, akhirnya saya makan es lilin itu. Setelah itu saya merasa bersalah pada Mama meskipun senang juga karena akhirnya pernah mencicipi es lilin di bangku SD.

Di kelas satu, dua, dan tiga SD saya sering tampil menari di pentas seni tutup tahun ajaran di sekolah. Sayangnya, sekarang saya sudah lupa sama sekali gerakan-gerakan menari. Di kelas empat SD, saya belajar kolintang, alat musik tradisional Sulawesi Utara. Saya memegang posisi melodi dimana saya harus menghafalkan banyak not-not dan bermain bersama teman-teman sekelas. Saya ingat kami sekelas dulu pernah bermusuhan dengan adik kelas di bawah kami karena rebutan bermain kolintang. Di kelas lima SD saya punya guru melukis baru. Saya senang melukis dan saya selalu mendapat nilai bagus di mata pelajarannya. Di kelas enam SD saya pernah maju mewakili sekolah untuk lomba mata pelajaran IPS/PPKn. Entah kenapa saya diajukan untuk lomba mata pelajaran itu. Seingat saya, saya hanya suka sekali pelajaran IPS-Sejarah (waktu itu masih IPS saja) dan entah kenapa PPKn, mungkin seperti kata pacar saya seharusnya nilai PPKn saya bukan sepuluh (dalam skala 0-10) tapi tiga puluh. Saya senang berhasil meraih juara dua namun entah sekarang pialanya tersimpan dimana. Setelah saya ingat-ingat, agaknya masa Sekolah Dasar merupakan saat-saat yang paling kompetitif sepanjang sejarah pendidikan saya. Iklim akademis yang kompetitif sangat terasa (bahkan ketika saya SMP hingga sekarang agaknya tidak pernah sekompetitif saat SD dulu). Kami semua saling bersaing untuk menjadi yang terbaik di kelas. Dengan menjawab pertanyaan guru, selalu rajin mengerjakan PR, berlomba-lomba dalam nilai ulangan, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah salah satu kebiasaan khas anak SD saat ulangan yaitu “benteng buku”. Biasanya kami akan berusaha untuk menutupi buku ulangan kami masing-masing dan berusaha sebisa mungkin agar jawaban kami tidak dicontek oleh teman sebangku atau teman bangku depan atau belakang. Selain menutupi dengan siku kurus kami, kami juga menutupinya dengan bantuan buku-buku dan tempat pensil yang ditegakkan sehingga menyerupai benteng. Belakangan saya sejujurnya rindu saat-saat melindungi tugas dengan benteng buku di tengah maraknya tugas-tugas kuliah copy-paste dan plagiarisme di kalangan mahasiswa dan orang dewasa.

Sebuah cerita tentang pertemanan benar-benar mengesankan di masa ini. Sewaktu saya SD, seperti anak-anak pada umumnya ada saja teman yang tidak suka pada saya. Dia galak sekali pada saya dan menjadi “ketua geng” cewek di kelas (sebut saja angkatan) saya. Kadang-kadang kami bertengkar namun pada dasarnya kami berteman baik. Khas sekali anak SD, sirik-sirikan dengan teman, mengejek-ngejek teman, melaporkan kalau teman ketauan mencontek atau tidak mengerjakan PR, sungguh menyenangkan. Pertemanan baik di antara kami semua murid laki-laki dan perempuan terjalin dengan akrab terutama saat pelajaran olah raga dan saat istirahat. Biasanya kami semua bermain bersama-sama seperti bekel, lompat tali, dan kasti. Khusus untuk permainan kasti, saya selalu kebagian menjadi “bawang kosong”, istilah untuk pemain penggembira karena saya tidak pintar-pintar banget olah raga hehe. Sangat menyenangkan semua tetap mengajak saya bermain meskipun saya tidak pintar sama sekali di permainan itu. Saya juga masih ingat soal “saingan jepit rambut”. Waktu SD dulu, kami berlomba-lomba dalam jepitan rambut siapa yang paling up to date. Saya ingat waktu jepit rambut berbentuk kupu-kupu dengan sayap yang bisa bergoyang, saya memilikinya lebih dari sepuluh buah (boleh ko membayangkan betapa borosnya saya waktu kecil).

Kami berdua puluh (atau lebih sedikit) juga pernah berkunjung ke rumah salah satu teman sekelas (atau seangkatan) kami di rumahnya karena kepalanya bocor dan tidak bisa masuk sekolah. Kebetulan rumah teman kami cukup dekat sehingga kami berdua puluh cukup jalan kaki beramai-ramai menuju ke rumahnya sambil membawakan sebungkus roti tawar hasil patungan sekelas dengan uang saku yang pas-pasan. Hal tersebut kemudian menjadi tradisi. Setiap ada teman yang sakit dan tidak masuk sekolah, kami akan beramai-ramai menjenguknya dan membawakan bingkisan hasil patungan sekelas.

Enam tahun menghirup udara yang sama di sebuah sekolah TNI Angkatan Udara, bermain dan menangis bersama ketika dokter sekolah datang untuk menyuntik imunisasi kepada kami setiap naik kelas benar-benar meninggalkan kesan yang dramatis bagi saya. Saya pernah menangis sepanjang jalan karena Kepala Sekolah saya akan pensiun. Saya pernah melaporkan teman saya yang mencontek diam-diam kepada Pak Guru. Saya juga pernah tertawa senang dengan teman-teman ketika bermain kasti di halaman sekolah hingga seragam kami penuh debu. Hingga saat ini, saya dan kedua puluh teman saya berteman dengan baik meskipun sekarang kami tinggal berjauhan. Pengalaman enam tahun bersekolah di tempat yang sama agaknya menjadi pengalaman yang luar biasa sebagai fondasi dasar kami menjadi manusia dengan tangis dan tawa khas anak-anak.

Wednesday, August 12, 2009

sandiwara kehidupan: pemeran atau sutradara?

Saya adalah seorang anak manja. Saya bertingkah seperti orang dewasa padahal sesungguhnya saya masih seperti anak kecil. Bukan kamuflase maupun sebuah bentuk kepura-puraan. Sandiwara? Bukankah hidup sendiri adalah sandiwara besar. Sedikit orang yang rela menjadi pemeran sementara yang lain baku hantam saling berebut menjadi sutradara, mengira kekuasaan akan mampu menentukan jalan cerita. Kadangkala saya juga berusaha menjadi sutradara, namun ada kalanya saya menjadi pemeran. Sandiwara bukanlah kepura-puraan. Dalam kehidupan agaknya sandiwara menjadi sebuah bentuk pengibaratan, bukan kesemuan.

Menjadi pemeran dalam iming-iming keglamoran agaknya masih kurang menarik dibandingkan dengan iming-iming menjadi penentu cerita. Menjadi dominan, menjadi inti dari para pemain yang berevolusi padanya sesuai dengan orbit yang telah ditentukannya. Mendominasi para pemeran yang penuh dengan keglamoran agaknya menjadi lebih menyenangkan dibandingkan terkungkum dalam keglamoran itu sendiri. Menjadi pemeran, dikenal orang, menjadi pusat perhatian, akankah tidak tampak seperti sebuah etalase? Setiap menjejakkan langkah semua orang memandang. Entah dengan pandangan mengagumi, ingin memiliki, atau bahkan membenci setengah mati. Tidakkah mengerti bahwa diri bukan milik kita sendiri? Menjadi sutradara, dipuja, menentukan alur cerita, berkuasa, membawahi segalanya, akankah tidak tampak mempesona? Semua tunduk dalam genggaman, semua menurut apa yang diperintahkan. Mampukah menjadi sutradara dengan kebesaran hati untuk menghargai segalanya? Tidakkah mengerti bahwa kadangkala keegoisan dan ketamakan meracuni?

Saya tidak akan memberi justifikasi. Pemeran atau sutradara yang lebih baik. Bagi saya, ada kalanya seseorang menjadi pemeran dan ada kalanya seseorang menjadi sutradara. Kadang pun tidak harus berebut, mungkin seleksi alam. Namun ada kalanya sutradara menjadi satu posisi yang dicari, onak berduri pun dilalui. Tidak peduli jurang menjembatani tetap menjadi sutradara adalah sebuah mimpi. Ada kalanya pula mau tidak mau seseorang harus rela menjadi pemeran. Menurut tanpa bisa melawan. Jika melawan sama dengan racun mematikan, lebih baik menurut tanpa resiko hilangnya keglamoran dan pandangan penuh kekaguman.

Agaknya sutradara memang lebih menyenangkan, memerintah dengan sepuas hati, menentukan segalanya dengan dominasi. Sedikit orang yang rela menjadi pemain. Menuruti jalan cerita sang sutradara, menguasai sedikit bagian dari dirinya sendiri. Menjadi manusia biasa, mengikuti seleksi alam. Kadang menjadi sang sutradara, kadang menjadi pemeran cerita. Kadang berkuasa, kadang sedikit tidak berdaya. Tidak perlu baku hantam atau merebut dengan paksa hanya untuk menjadi sutradara. Tunggu saja, seleksi alam berkata dan akan dijumpai masa ketika menjadi pemeran atau sang sutradara.

Monday, August 10, 2009

Sinetron Melayu: Dampak Kasus Manohara atau Memang Masanya?

Mencuatnya kisah (dek) Manohara vs Pangeran Kelantan beberapa waktu lalu ternyata menggugah antusiasme yang begitu besar dalam segala bidang. Saya ngga akan komentar soal pendapat saya tentang (katanya dek Manohara) kasus penganiayaan yang dilakukan oleh mantan suaminya itu ke dirinya selama jadi istrinya di Kelantan sana (eh emang udah cerai?). Bukan apa-apa, dulu waktu berita ini mencuat lagi hot-hotnya, saya juga kasian sama si Manohara ini tapi lama kelamaan saya jadi agak kehilangan rasa simpati saya sama dia soalnya dia kaya agak lelet gitu yah ngebuktiin ke masyarakat kalau dia disiksa, buat visum aja deh kayanya lamaaaa banget deh baru akhirnya dia mau visum. Well, saya sudah ngga mau komentar soal kasusnya dia deh, saya mau komentar soal dampaknya si Manohara ini dengan industri persinetronan di Indonesia sekarang (ahaha sok pinter deh aku).

Belakangan ini, kasus Manohara yang menyedihkan itu agaknya seolah dianggap sebagai salah satu hal yang semakin memperuncing pertikaian antara Malaysia-Indonesia yang terjadi belakangan ini. Mulai dari kasus TKI yang disiksa (dan tidak kunjung padam, ibaratnya mati satu tumbuh seribu, kelar satu kasus nongol kasus lain), kebudayaan Indonesia yang katanya diakuisisi sama Malaysia, rebutan pulau Ambalat, nah ketambahan lagi nih kasusnya dek Mano agaknya lengkaplah sudah. Nah, menilik industri persinetronan belakangan ini, agaknya sekarang banyak bermunculan sinetron yang agak "Melayu" gitu. Salah satu stasiun televisi swasta nasional memiliki beberapa judul sinetron yang benar-benar menggunakan aksen Melayu sebagai dialog dalam ceritanya dan judul seperti julukan negara tetangga kita itu, bahkan ada yang jalan ceritanya mirip sekali dengan kasus yang (katanya) dialami sama dek Mano. Bukan apa-apa, tidak masalah memang karena kita memang rumpun Melayu namun hal ini sedikit mengusik benak saya, apakah ini merupakan efek dari kasus Manohara dan berbagai permasalahan kita dengan negara tetangga itu ataukah memang inilah masanya masyarakat menyukai sinetron dengan tipe-tipe cerita seperti itu?

Saya ingat beberapa waktu yang lalu ketika stasiun-stasiun televisi mulai berlomba-lomba memproduksi sinetron mulai dari yang berkala hingga yang striping, agaknya muncul kecenderungan "latah" antara satu dengan yang lainnya. Latah tersebut dapat saya simpulkan dari kemiripan alur cerita, kisah cerita, bahkan judul sinetronnya pun mirip-mirip. Ketika masanya sinetron yang menggunakan nama tokohnya sebagai judulnya booming, hampir bisa dipastikan akan muncul sinetron-sinetron lain yang juga menggunakan nama tokohnya sebagai judul juga. Ibaratnya, satu judul sinetron sukses dengan kisah amnesia, sinetron lain akan amnesia semua. Kecenderungan ini pun agaknya masih berlaku hingga sekarang. Tidak masalah, siapa tau ketularan booming juga kan hehe tapi maaf kita-kita yang nonton tivi nih agak bosen gitu ya liat iklan sinetron judulnya mirip-mirip semua.

Inilah yang kemudian membuat saya berpikir lagi, apakah sinetron-sinetron Melayu ini memang masanya sedang disukai masyarakat atau memang ada korelasinya dengan berbagai kejadian yang terjadi belakangan ini antara negara kita dengan Malaysia. Saya kurang tahu pasti, akan tetapi kalau saya mengambil teori agenda setting, dimana media memiliki kekuatan untuk mengarahkan atensi masyarakat terhadap sebuah isu tertentu, agaknya berbagai kejadian yang terjadi antara negara kita dan negeri tetangga itu mampu menjadi sebuah isu yang "diarahkan" oleh media kepada kita. Isu tersebut menjadi sebuah topik yang terus menerus dibahas sehingga masyarakat sebagai audiens media menganggap isu tersebut merupakan isu sentral dan sebagai efek psikologisnya (mungkin) akan muncul rasa simpati atau sense of belonging dengan isu yang disampaikan itu. Sebagai sebuah industri, media tentunya berorientasi pada aspek komersial dimana isu yang sedang berkembang tersebut "dimanfaatkan" untuk menghasilkan keuntungan komersial yang cukup besar. Sehingga (mungkin) muncullah berbagai jenis sinetron menyentuh hati dengan setting Melayu yang belakangan ini sedang hot-hotnya di masyarakat. Dari kedua asumsi saya tersebut, agaknya keduanya masuk akal dan berkaitan. Berbagai kejadian dengan negara tetangga tersebut merupakan isu sentral yang dalam dunia industri media diolah menjadi sebuah komoditi komersial dalam wujud sinetron-sinetron yang berlatarkan Melayu karena memang inilah masanya masyarakat sedang menyaksikan berbagai kejadian yang berkaitan dengan Melayu. Di sisi lain, kejadian-kejadian tersebut memang menjadi isu yang happening di kalangan masyarakat kita dewasa ini.

Tidak ada yang salah dengan hal itu, semuanya sah-sah saja dalam dunia industri. Mari kita selanjutnya lihat, hal apa lagikah yang kemudian akan menjadi isu sentral dalam masyarakat kita?

Friday, August 7, 2009

pengemis, pengamen, pengamen bencong, dan pegawai rumah makan (yang semuanya sedang tidak menyenangkan)

Sejujurnya malam ini saya tidak tau pasti mau menulis apa, seriusan. Jadi, malam ini karena saya tidak tau ingin menulis apa tapi saya ingin menulis jadi saya meracau saja sepanjang postingan kali ini.

Dimulai di hari ini yang saya (mulai) sebal sama salah seorang pengemis di sekitaran Kopma UGM. Saya ceritanya lagi nemenin pacar dan teman-teman bikin stand informasi buat mahasiswa baru, tapi oh tapi si pengemis (yang sebenernya daridulu uda nangkring di situ) nyamperin. Jujur saja saya ngga suka sama pengemis ini (iya iya, siapa juga yang suka sama pengemis, haloo?!). Pengemis ini perempuan usianya sih keliatannya belasan mau dua puluhan, badannya kurus cungkring item dan marmos. Kemarmosan itu selain ditampakkan dalam wujud fisiknya, wujud ngemisnya pun sungguh marmos. Maksa bok! Dia akan nyamperin ke orang-orang terus maksa minta uang dengan nada nyaris malak dan parahnya kalau kita bilang ngga punya uang tar dia bakal ngebujuk (dengan kasar tentunya) dan ngejar-ngejar terus, intinya sih maksa. Terusan kalau kita diem aja, dia bakal tetep stay di samping kita dan kalau dia uda bosen dia bakal memaki kita dengan kata-kata yang relatif kasar hingga nyaris kasar banget. OH MYYYY!!! saya benci sama urusan beginiaaaan.

Hff... tapi salah satu temen dari pengemis adalah pengamen (menurut saya). Pengamen belakangan ini suka bikin saya pengen teriak protes. Masalahnya saya seriiiiiiing banget liat kalau pengamen belakangan ini seenaknya. Kalau dia nyanyi dengan suara pas-pasan sekalipun saya masih mau untuk kasih uang tapi kalau ngga nyanyi cuman diem aneh aja, paraaaaah deh. Hal lain yang suka bikin saya complain yaitu si pengamen yang turun ke jalan ini banyaknya adalah anak-anak dan orang tua mereka ada di sisi jalan duduk-duduk sambil nunggu si anak datang nyetor uang. Saya ngga sukaaaa banget deh yang kaya ginian. Hal lain lagi yang saya ngga suka adalah waria yang ngamen di jalan tapi ngga sopan. Saya sudah pernah nulis di postingan lama soal kebersamaan saya di satu senja bersama sang waria, waktu itu saya bisa melihat satu sudut pandang lain untuk berteman dengan waria. Tapi oh tapi, entah kenapa hari ini saya malah jadi agak sebal (bukan sama waria pada umumnya tapi untuk satu waria aja) yaitu waria yang ngamen tapi godain. Ceritanya, saya sedang makan siang sama pacar dan datanglah si waria ngamen dan seketika satu rumah makan hening. Si waria ini ngambil uang yang dikasih bukan langsung pergi tapi pake keliling rumah makan dan ngegodain banyak orang. Aku sumpah, ngga suka bagian ini masalahnya aku merasa dilecehkan sebagai perempuan, Darliiiing! Lanjutnya, aku coba bilang ke bagian kasir rumah makan, aku bilang aku sering makan di rumah makan itu dan overall aku suka tapi aku minta tolong ke mbak kasir kalau aku ngerasa kurang nyaman sama si bencong tadi. HARUSNYA, si mbak kasir ini (meskipun ngga bisa ngusir bencong tadi) bilang kaya, "iya mbak, maaf ya atas ketidaknyamanannya. agak susah memang bencong tadi tapi nanti kita usahakan agar ngga terulang lagi" atau sejenisnya. Tapi, si mbak ini (malah ditambah mas waiternya nyolot mampuuusss) bilang, "terus solusinya gimana mbak? sama cowo aja malah ngajak berantem. kita udah coba ngusir mbak tapi ga bisa." Oh my, are you silly or something hallooooo! saya ngga peduli gitu lho sama apa yang kalian alami sama si bencong!

Entahlah, saya sedang ngerasa sebal aja sama beberapa hal kaya tadi. Saya rasa, sebenarnya kalau kita masih mau untuk terus kerja keras dan menghormati orang lain saya yakin ko hal-hal kaya tadi ngga perlu sampai kejadian seperti itu. Intinya lagi, saya sedang sebal hari ini.

Wednesday, August 5, 2009

bride wars: the wedding and marriage life in my opinion


I just watched “Bride Wars” in my room. A nice movie about silly war between a best friend, Liv (Kate Hudson) and Emma (Anne Hathaway) for their weddings. They were friends since 20 years and they had same dreams about marriage. They wanted to marry on June in The Plaza, such a kind of memorable place for them. Both of them promised each other that they will their bridesmaid.

Some years later, they grew up as two great women and very close best friend. Until come the day when their own mate proposed them to marry him, they were so excited and promised to realized their dreams to marry on June in The Plaza. They met a famous wedding planner in the city and they told her about what they wanted to be in their weddings and everything just ran so well until the wedding planner said that there were something trouble about the date of their wedding. They will marry on the same date on The Plaza and none of them ever wanted to defer. So, as we all can predict they sabotaged other’s plan of wedding and became rival. Everything just ran so bad even in the end of the story; they just become friend again and realized that the war they had set up was so stupid and they live happily as a good friend as before.

Above all of the stories, there are something that running in my head and force me to think about. It’s wedding. Oh My! I’m not going to say that I want to marry (HA HA HA!) yes, I know I want to marry and everybody does. But what I want to tell is that everything about wedding and marriage. When I was child I used to watch a lot of wedding party and how the bride was soooooo beautiful (well, honestly some of them aren’t seems so beautiful (sorry) but most of them was so happy and I can see that in their faces). But what I saw in my childhood wedding is wedding in a western culture, well you know wedding dress such as pretty fabulous Vera Wang dress (Oh My, what else can be better than it) even when I grew up I am so know that I won’t wear it in my wedding. There is only my aunt who wore that kind of dress in her wedding and her wedding isn’t same as what a kind of “wedding party” that I wanted. Even honestly sometimes I admit that I (still) want to wear a beautiful fabulous dress such as Vera Wang dress, in my adult age now I am more appreciate in the mix of traditional-modern-glam wedding dress such as wedding dress of Anne Avantie, Ramadhani, Michael, or some of kebaya wedding dress designer that you ever heard. It’s more likely due to some reasons such as; I am sooo in love with kebaya wedding dress these days that looks so gorgeous and beautiful. They look so pretty when they fitted in a bride’s body and I do think that someday I am going to have a beautiful one and it’s mine.

Next thing that I want to talk are about some other’s properties such as wedding ring, the foods and beverages, flowers, invitations, and the souvenirs. Well, those are little things but I don’t think that it will be wise if we don’t think about it seriously. I ever dreamed about a couple of gorgeous white gold wedding ring with the diamond on its top. Haha I know every girl will wants it so much; it’s such a something to die for. But what I learned right now is that ring isn’t as that important. I mean it’s important but it doesn’t have to be a white gold with a diamond. The most precious is the meaning of it and lucky I, thanks God my baby always knows and try to gimme what I want (thank you so much, baby!). And oh ya, with this note I would like to tell you my baby that I really don’t mean to tell you that I require you to buy me that kind of a ring. With or without that kind of ring, I will always love you just the way you are.

Then it comes to talk about the foods and beverages, flowers, invitations, and the souvenirs. I don’t think about cake that will be available on my wedding party. I only think about the foods and beverages, and I think mixed between local and traditional foods will be fine, then there’ll be no alcohol on the beverages off course (hella, is there any silly girl who ever wants to find a lot of tipsy guests on their wedding party?). Then about flowers, wow I love roses and white lily, but I just let the florist to decorate it well remind I have no special ability to arrange any kind of flowers. Then about the invitations and souvenirs, well actually I thought that I don’t really want to take our photos on the invitations. The reasons is just because sometimes people just throw away the invitations that they get and it just feels so hurt when you know somebody throw away your photo hehehe. But my baby told me that the photo is quite important to remind people about us. Maybe they just forget our name (oh my, please don’t ever let this happens to us!), so picture will be helpful to remind them about us. So, we just decided that we will take only one picture on the invitations. Me, personally dislike too much picture on the invitations and I agree with him that picture will be helpful to remind others about us. The last but not least about marriage is the souvenirs. Souvenirs will be so important to make everybody impress on our party and remember it. There are so many things that become so common on wedding souvenirs, but some kind of souvenirs that I do remember as unique and unforgettable are: money tree, scarf and roses, and gold classic mirror. The money tree and gold classic mirror was too expensive and too weird for me. So, I think scarf and red roses are good but it was the souvenirs of my brother’s wedding so I need to find another unique unforgettable useful souvenirs for our guests.

Then it comes to the marriage. I know that marriage is a kind of serious step in our life. Everybody just wants to have only one marriage in their life. Some people also say that your mate’s “real habit” will be shown on the marriage life, they just told us about the days after wedding that full of unpredictable thing and its not always as happy as you thought. I don’t say they are so wrong but I don’t say that they are so right. I don’t think that the days after wedding is full of bad things, I really don’t think so. I think it will be the day when you think your marriage isn’t as what you dreamed but one thing that you should be thanking of is that you can see your baby as the last and the first one that you see every morning. Then some years after your wedding you will have some cute kids that will call you two, “Mom and Dad”. Maybe you will find the hard parts such as the stage of economically down, or the misunderstanding between you two, or the kids that hard to handle but I do so sure that if you just realized that you have a very perfect life and be thankful about it, you will never think it’s a very big problem.

Love,

Tania

Tuesday, August 4, 2009

Senin kemarin untuk pertama kalinya di hidup saya, saya naik kereta api ekspress Jogja-Solo PP! Hehe jujur saja ini pertama kalinya saya naik kereta ekspress ini dan ini juga pengalaman saya naik kereta api lagi setelah sekian lama tidak pernah naik kereta lagi. Saya kegirangan setengah mati naik kereta, untungnya sepanjang jalan saya tidak nyanyi, "naik kereta api tut tut tuuttt".

Perjalanan Jogja-Solo ini bukan dalam keadaan urgent juga sih, hanya sekedar untuk bersenang-senang selama liburan (yang kepanjangan). Bersama pacar dari Jogja-Solo-Jogja naik kereta, tujuan kami adalah Pandawa Water World. Kami berdua suka sekali main air, sehingga Pandawa menjadi destinasi menyenangkan untuk bersenang-senang saat liburan. Acara ini agak error juga sih, harusnya rencana pergi rame-rame sama teman-teman tapi akhirnya malah jadi pergi berdua gara-gara teman-teman mendadak tidak bisa.

Kali ini saya ngga akan cerita soal serunya main air di Pandawa. Bukan karena apa-apa, tapi karena saya mau cerita soal kereta api yang baru pertama kali saya naiki kemarin. Kereta api sangat menyenangkan, kayanya cepat banget sampe ke tujuan. Tapi, keadaan di dalam gerbong kereta saat saya mau berangkat dan saya mau pulang ke Jogja hampir selalu sama, "penuh". Waktu berangkat dan pulang, kereta itu penuh dan saya sempat mencicipi berdiri di dalam kereta sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Pada saat berangkat menuju ke Solo, saya berdiri di dalam kereta. Tidak masalah sih karena memang penumpangnya penuh, namun yang membuat saya sedikit miris adalah penumpang-penumpang yang duduk di dalam kereta itu kebanyakan laki-laki dan mereka sehat tapi mereka tidak mempersilakan tempat duduk mereka bagi penumpang wanita yang tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri sepanjang jalan. Saya tidak menyalahkan sikap mereka, saya tidak merasa harus duduk hingga saya harus memarahi para penumpang tersebut, tapi saya hanya merasa miris. Harus seperti itukah sikap mereka?

Saya bilang pada pacar saya tentang hal ini. Pacar saya bilang, mungkin si laki-laki tidak mempersilakan tempat duduk karena mungkin dia jaga perasaan pacarnya. Ya, saya tau dan saya bisa memaklumi itu, tapi kalau wanita yang agak berumur berdiri kenapa mereka tidak mempersilakan tempat duduknya? Saya tau, kalau si laki-laki bawa pacar mungkin si pacar akan ngambek, atau tidak mungkin juga laki-laki menawari tempat duduk untuk wanita yang naik kereta bersama pacar atau suaminya. Tapi saya membicarakan soal wanita yang sudah berumur. Setega itukah mereka membiarkan mereka berdiri sepanjang perjalanan?

Kereta bergerak dari stasiun Tugu menuju stasiun Lempuyangan. Di stasiun Lempuyangan, kereta berhenti dan arus naik-turun penumpang terasa sekali di dalam gerbong. Sebuah kursi di ujung gerbong saya kosong, saya duduk di kursi itu sembari banyak penumpang lalu lalang naik dan turun. Kereta baru akan kembali berangkat ketika seorang ibu-ibu setengah baya naik ke gerbong dan mendapati kursi sudah penuh. Saya berdiri dan mempersilakan kursi itu dipakai oleh sang ibu. Bukan sok baik hati, tapi saya ingin tau seperti apa reaksi para laki-laki yang menurut saya egois tadi melihat tindakan saya. Saya berdiri di sebelah pacar saya dan ibu tersebut duduk di kursi saya. Tidak lama, seorang pasangan bapak-ibu setengah baya naik juga ke gerbong dan bapak-bapak usia sekitar awal 30 tahunan yang duduk di kursi yang tadinya saya tempati berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk duduk di kursinya. Saya senang melihat hal itu, setidaknya masih ada yang terketuk pintu hatinya untuk sedikit berkorban bagi orang lain. Meskipun demikian, saya masih agak kecewa. Di sisi lain gerbong ini, saya melihat masih ada ibu-ibu yang berdiri sepanjang perjalanan sementara ada beberapa penumpang laki-laki yang tetap duduk di kursinya tanpa menawari ibu tersebut tempat duduk. Menurut saya, sungguh keterlaluan. Saya yakin setiap hal baik yang kita lakukan akan dibalas dengan hal baik juga, jadi ketika kita berbuat baik bagi orang lain saya yakin nanti kita akan dibalas dengan hal yang baik juga.

Agaknya indah kalau kita semua sama-sama belajar untuk terus berbuat baik bagi orang lain. Saya pun juga masih harus terus belajar untuk berbuat baik karena saya toh masih sangat banyak kekurangannya. Dan saya rasa berbuat baik pun bisa dilakukan lewat hal-hal kecil yang berguna bagi orang-orang di sekitar kita.


p.s.
*saya turut berduka atas kecelakaan yang menimpa KRL Express Pakuan Bogor-Jakarta dan kereta ekonomi di Bogor, semoga para korban tewas mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya, korban selamat dan luka-luka segera sembuh.
*oleh-oleh dari Pandawa adalah saya dapat satu luka kecil di siku akibat pendaratan yang kurang sempurna saat bermain ombak-ombakan di Pandawa hehehe.