Saturday, December 24, 2011

Bhinneka Tunggal Ika-kah Sinetron Kita?

Hari raya keagamaan selalu menjadi salah satu momen yang istimewa untuk banyak pihak, termasuk industri media. Sudah bukan barang baru lagi bahwa kita sebagai audiens media akan dibombardir dengan berbagai konten media seperti film, sinetron, konser musik, hingga iklan yang memanfaatkan seasonal marketing ini. Lihat saja, ketika dekat hari raya Idul Fitri media kita dipenuhi oleh tayangan-tayangan bernuansa religi Islami. Uniknya, ada yang berbeda ketika datang hari Natal atau hari besar keagamaan lainnya. Sebagai audiens dan pengkaji media saya ingin bertanya, Sudah Bhinneka Tunggal Ika-kah Sinetron Kita?

Sepanjang bulan Ramadhan, judul-judul sinetron di berbagai stasiun televisi berubah dari yang sebelumnya lebih terkesan "pop" menjadi judul-judul yang kental dengan nuansa Islami. Kesan tersebut semakin terasa ketika Idul Fitri hanya tinggal menghitung hari. Seluruh sinetron, konser musik, dan program-program televisi semakin kental dengan nuansa religi lengkap dengan para pendukung acara dan atribut ke-Islamannya. Akan tetapi, agaknya tidak serupa halnya ketika hari Natal tiba. Perayaannya terkesan berbeda jika dibandingkan dengan hari besar keagamaan atau nasional lainnya. Saya memahami jika agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia (85,1%), namun perlu dicatat bahwa agama-agama lain juga memerlukan "ruang" yang seimbang.

Penilaian terhadap porsi keseimbangan mungkin akan berbeda jika dilihat dari jumlah pemeluk masing-masing agama dan jenis program acara yang ditampilkan di stasiun televisi. Mengacu pada data dari The World Factbook (2009) disampaikan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia jumlah pemeluk agama Islam berjumlah (85,1%), agama Kristen (9,2%), Katolik (3,5%), Hindu (1,8%), dan Buddha (0,4%). Berdasarkan data tersebut wajar adanya jika sinetron kita lebih didominasi oleh sinetron-sinetron yang kuat dengan nuansa Islami sepanjang alur ceritanya. Namun pantaskah kita mengesampingkan agama-agama lain sebagai bagian dalam cerita di sinetron kita?

Mengapa sinetron?
Sinetron merupakan salah satu konten media yang mendominasi waktu-waktu prime time dan menjadi tayangan favorit keluarga, khususnya para ibu. Terlepas dari alur ceritanya yang seringkali tidak masuk akal, sinetron menjadi salah satu media yang mampu menarik perhatian audiensnya secara penuh. Bagi beberapa pihak sinetron juga dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah atau nasihat tertentu meski secara jujur saya menyangsikan efektivitasnya.

Tingginya kuantitas sinetron bernuansa religi Islami sepanjang bulan Ramadhan dan Idul Fitri bisa dipahami sebagai produk media yang mampu bertahan dalam durasi waktu yang lama (bulan Ramadhan berlangsung selama 30 hari dan Idul Fitri 2 hari), sementara itu hari Natal hanya berlangsung selama satu hari. Cukupkah itu menjadi alasan? Saya rasa tidak. Beberapa tahun yang lalu mungkin kita masih ingat dengan sinetron "Buku Harian Nayla" atau "Mukjizat Itu Nyata" yang kental dengan nuansa religi Kristen dan Katolik menjelang hari Natal tiba. Dilihat dari reach audiensnya, kedua sinetron tersebut mampu menjangkau audiens dalam jumlah massif dan plural. Lalu mengapa saat ini tayangan-tayangan serupa tidak lagi ada? Mengapa hanya film-film Barat bernuansa Natal saja yang ditayangkan tanpa ada tayangan lokal yang mengapresiasi hari raya tersebut? Jika berkaitan dengan tren tema konten media, bukankah tren dapat dicipta seperti saat kita mencipta tren tema religi, horor, dan komedi seks?

Benar jika dikatakan bahwa dominasi agama mampu mempengaruhi peta kekuatan politik, ekonomi, budaya, dan media. Benar jika dikatakan bahwa film mampu menjadi kanal penyampai pesan yang ampuh. Namun tidak bisakah kita kembali memeluk perbedaan dan menghormatinya setidaknya melalui pesan-pesan media? Takutkah kita? Insecure-kah kita? Saya rasa masyarakat kita tidak sebodoh itu untuk menelan mentah-mentah pesan media kecuali mereka telah terbiasa dikondisikan dengan sikap barbarian sebagai respon atas setiap perbedaan.

Jadi, sudah Bhinneka Tunggal Ika-kah Sinetron Kita?




p.s. tulisan ini dibuat tidak hanya ditujukan bagi media dalam mengakomodasi pesan-pesan religi bernuansa Kristen atau Katolik saja, namun bagi seluruh agama. Hari Natal dipilih sebagai contoh mengacu pada alasan bahwa ketika tulisan ini dipublikasikan hari raya keagamaan terdekat adalah hari Natal. Adapun sinetron dipilih mengacu pada alasan bahwa program media ini merupakan salah satu program yang secara signifikan berpengaruh dan rutin diakses oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupannya sehari-hari.


Referensi:
The World Factbook. CIA. 19 Maret 2009.


Tuesday, October 18, 2011

Sociodemographic Segment: Another Segment That -Unfortunately- We Didn't Get in Class

Beberapa waktu yang lalu saya menghabiskan waktu dengan membaca buku "Advertising. 8th Edition" yang disponsori oleh Mas Dhidha, pacar saya yang baik hati dan menemukan segmentasi sosiodemografis yang -sayangnya- dulu belum sempat kita pelajari di kelas. And I love to share it some for us! :)

Umumnya kita melakukan segmentasi pasar berdasarkan faktor demografis, psikografis, dan geografis. Apakah itu cukup? Well, dalam kapasitas perkuliahan di kelas segmentasi ini dirasa cukup. Dengan segmentasi ini kita bisa melakukan segmentasi pasar dan melakukan targeting atas target audiens yang diharapkan mampu memberikan respon positif terhadap pesan komersial brand kita. Tapi, perlu diingat bahwa semakin banyak variabel yang dihadirkan maka akan semakin sempit dan spesifik segmentasi itu. Maka, tidak jarang segmentasi tersebut ditambah dengan variabel tahapan hidup (misalnya anak-anak, remaja, suami, istri, ayah, dll), karakteristik behavioral (misalnya loyalitas terhadap brand, status pengguna, tingkat penggunaan, dll), berbasis nilai dan manfaat (segmentasi ini merefleksikan nilai yang dipegang oleh konsumen dan manfaat yang dicari oleh mereka dari brand).

Apakah seluruh variabel segmentasi tersebut harus dilakukan? Jawabannya, semakin banyak variabel yang digunakan tentunya akan mendorong segmentasi dan targeting menjadi lebih fokus. Selain memperbesar probabilitas adanya respon positif konsumen, semakin fokus segmentasi dan targeting ini akan memperkecil biaya aktivitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Akan tetapi, tentu saja penggunaan segmentasi tersebut perlu disesuaikan dengan brand yang bersangkutan.

Selain berdasarkan variabel-variabel tersebut, salah satu pendekatan umum yang kerap digunakan adalah segmentasi berdasarkan faktor sosiodemografis. Segmentasi sosiodemografis berpijak pada konsep dasar tentang kelahiran (usia dan generasi di tahun lahir, misalnya baby boomers, Gen X, Gen Y, Millenium generations) dan gaya hidup mereka. Beberapa istilah untuk segmentasi ini antara lain:
1. Gray Market : Pasar orang tua (senior). Pasar ini dibagi menjadi dua kategori yakni, senior muda (60-74 tahun) dan senior jompo (75 tahun ke atas).
2. Dinkies: Merupakan pasangan muda yang memiliki penghasilan sendiri-sendiri namun belum punya anak.
3. Guppies: Kalangan gay yang masuk ke dalam lingkungan profesional.
4. Skippies: Anak-anak di usia sekolah yang memiliki daya beli (buying power).
5. Slackers: Kalangan remaja dan dewasa yang cuek.
6. Bling bling generation: Orang dewasa yang bergaya hidup mewah.
7. Ruppies: Kalangan profesional urban yang sudah pensiun. Mereka merupakan konsumen tua dengan selera tinggi dan kaya.
8. Yuppies: Kalangan profesional muda yang memiliki prospek karir yang cerah di masa depan.

Sekilas mengkaji segmentasi ini mengingatkan kita pada segmentasi VALS atau Yankelovich Monitor's Mindbase yang berdasarkan pada aspek psikografis dan gaya hidup konsumen.

Lalu yang mana yang digunakan? Once more, kita bisa menggunakan segmentasi sesuai dengan insight yang kita peroleh, marketing purpose, dan advertising purpose yang telah disusun. Atau kita bisa memadukan variabel-variabel yang ada dengan cermat sehingga hasil segmentasi dan targeting menjadi spesifik.




Sunday, October 2, 2011

Our Marriage, Their Wedding


Warning: If you wished this post is about our wedding announcement, sorry honey you better stop reading. It is not yet talking about it. :)

Selepas menyelesaikan pendidikan di tingkat S-1 umumnya kita akan disodori tentang berbagai pertanyaan seperti, "Habis ini mau lanjutin S-2 atau kerja dimana?", "Udah daftar kerja dimana aja?", "Kapan nikah?". Baiklah, pertanyaan sejenis itu memang wajar dan hmm... umum ditanyakan. Way intimidating tapi cukup populer ditanyakan oleh siapapun yang ngobrol dengan kita ketika baru saja lulus sarjana.

Di antara ketiga contoh pertanyaan tersebut, pertanyaan terakhir, "Kapan nikah?" adalah pertanyaan yang terhitung kerap ditanyakan pada kaum perempuan. Mengapa perempuan? Karena mayoritas orang-orang masih memiliki paradigma tentang fase hidup bagi perempuan yang menganggap bahwa setelah lulus kemudian menikah saja, belum bekerja pun tidak apa, toh ada suami yang bisa menghidupi. Tulisan ini jelas tidak bermaksud menyudutkan teman-teman yang menikah di usia muda, menikah saat baru saja lulus atau mungkin masih menjalani aktivitas perkuliahan, atau teman-teman yang memang berencana berkarir di rumah (house executive). Tulisan ini lebih pada pemaparan tentang sudut pandang alternatif -selain sudut pandang yang menganggap bahwa perempuan setelah lulus kemudian menikah saja- tentang konsep pernikahan.

Our wedding, their marriage. Tidak berlebihan rasanya ketika saya mencoba untuk membuat sebuah batasan yang jelas tentang konsep "wedding" dan "marriage". Umumnya, hampir setiap perempuan memiliki "wedding dream" yang sesuai dengan keinginannya. Dia tahu persis akan seperti apa wedding day-nya. Gaun yang akan dikenakan, tema dan dekorasi, bunga yang dipasang, lokasi acara, bahkan mungkin untuk urusan menu pun sudah ada dalam benaknya. Akan tetapi, seringkali lupa dengan konsep bahwa "wedding" berbeda dengan "marriage". "Wedding" adalah selebrasi, perayaan dalam satu atau beberapa hari. "Marriage" adalah journey, perjalanan seumur hidup.

Ketika kita bertemu dengan laki-laki yang kita impikan, yang dengannya kita seolah dapat melihat masa depan, tidak jarang kita terjebak pada kondisi yang mendorong kita merasa bahwa inilah orang yang tepat dan dengannya aku siap hidup bersama, kapanpun itu. Ah, kali ini konsep "hidup bersama". "Hidup bersama" yang dalam Bahasa Inggris disebut sebagai "domestic partnership" agaknya berbeda dengan konsep "hidup bersama" dalam istilah kita. Di sana, "hidup bersama" merupakan level dimana dua orang setuju untuk tinggal bersama dan berbagi biaya untuk fasilitas hidup yang mereka nikmati berdua. Level relasinya? Tentu beragam, ada yang sepasang kekasih, saudara, atau sahabat. Sedangkan di sini, konsep "hidup bersama" cenderung merujuk pada sepasang suami-istri (okelah di zaman ini di sini pun ada juga pasangan kekasih yang belum menikah dan hidup bersama, tapi bukan ini yang sedang kubahas) yang tinggal dan hidup bersama, berkomitmen untuk saling terikat selamanya dan membentuk suatu keluarga. Pertanyaannya, "Kapan kita siap untuk menjalani komitmen seumur hidup untuk berbagi hidup bersamanya?"

Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu beragam tergantung pada diri masing-masing. Ada yang mungkin menetapkan parameter siap ketika dirinya telah bertemu laki-laki yang tepat dan mereka sudah selesai kuliah, ada yang mungkin berparameter ketika laki-laki yang dicintainya sudah mapan dan dirinya sudah selesai kuliah, ada yang mungkin berparameter ketika keduanya sudah memiliki kondisi ekonomi dan emosi yang stabil, atau mungkin ada juga yang berparameter ketika keduanya saling cinta dan bahagia saja sudah cukup bagi mereka. Yang mana yang benar? Semua benar, tergantung bagaimana keduanya mengimani keyakinan tersebut.

Pertanyaan "Kapan nikah?" mungkin sama menyudutkannya dengan "Kapan lulus?" bagi sebagian orang. Bedanya, pertanyaan soal lulus kuliah berada dalam level individu, sementara pertanyaan nikah berada dalam level yang lebih makro. Menikah adalah "marriage" bukan sekedar "wedding". Benar mereka berkaitan tapi konsepnya berbeda. Lalu kenapa "their wedding"? Tentu ini adalah pernikahanmu, kalian adalah dua pemeran utamanya. Tapi mayoritas upacara pernikahan juga dimiliki oleh orang tua dan keluarga. Dalam beberapa keluarga, orang tua menjadi sponsor tunggal acara pernikahan sehingga mereka merasa memiliki hari itu. Mereka akan mengambil peran dominan dalam menentukan segalanya meski didasarkan pada keinginan kedua mempelai. Apakah salah? Tentu tidak.

Banyak orang menyukai selebrasi, "the wedding". Tahap persiapan, prosesi, hingga acara wedding day memang selalu menyenangkan. Semua orang bergembira, semua orang urun pendapat, semua orang sibuk berpartisipasi mempersiapkan wedding day agar segalanya sempurna. Tapi setelah wedding day usai, the real marriage life comes and no one of them could participate in your marriage life. Benar mereka mengambil peran sebagai keluarga - keluarga ipar, namun pernikahan yang sesungguhnya hanya dijalankan oleh dua orang yang sepakat untuk saling menjaga komitmen mereka. Yes, this is your family wedding, their wedding, but your marriage.

So, girls please be careful on identifying you readiness. Hanya dirimu sendiri yang tahu kapan kau siap. Jangan terjebak pada "wedding day" dan lupa pada "marriage life". Aku tidak sedang meragukan instansi pernikahan, aku tidak pernah meragukannya sedikit pun. Aku bukan perempuan yang berkeinginan tidak menikah seumur hidup. Tapi aku berharap agar kita semua memastikan bahwa kita sungguh-sungguh siap ketika mengambil keputusan itu. Everybody can come in your wedding day, but nobody can come in your marriage life. Your marriage, their wedding.




Monday, September 12, 2011

The Yuppie Couple


Perkembangan ekonomi di Indonesia tidak diragukan lagi telah menunjukkan penguatan sejak beberapa tahun silam. Sebagai sebuah negara berkembang, dukungan iklim perekonomian yang

positif telah menaikkah daya beli masyarakat secara umum, terutama di kalangan sosio-ekonomi kelas menengah atas. Untuk menangkap peluang pertumbuhan ekonomi yang kondusif tersebut, seharusnya para pelaku industri mulai membidik pasangan muda profesional sebagai salah satu target konsumen mereka.

Pasangan muda profesional (yuppie couple/young urban professional couple) merupakan target konsumen potensial bagi para pelaku dunia industri. Mereka dianggap sebagai target konsumen yang prospektif karena dianggap memiliki jenjang karir yang baik di masa depan. Akibatnya, di masa depan mereka adalah para konsumen kelas atas yang tentunya mampu mendukung peningkatan share rupiah para pelaku industri di pasaran.

Lalu, siapakah para yuppie couple ini? Nielsen Indonesia (2010) mengungkapkan karakteristik yuppie couple ini sebagai pasangan muda menikah yang berusia di bawah 30 tahun dan umumnya tinggal di apartemen atau perumahan kelas menengah atas di daerah urban atau sub-urban. Keduanya memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki karir serta pendapatan yang bagus, khususnya di bidang keuangan, konsultan, perbankan, dan pemasaran. Mereka gemar bersosialisasi di berbagai public sphere seperti kafe dan restoran. Mereka juga kerap membeli luxury atau branded product baik dalam bentuk fashion atau gadget sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap kerja keras dan hasil yang telah mereka capai. Bagi pasangan ini tentunya peran istri dan suami dianggap sama pentingnya sehingga masing-masing pihak memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan pendapat dan keinginan mereka.
Beberapa fakta yang memberikan ilustrasi gaya hidup para yuppie couples:
1. 19% membaca koran dan 67% mengakses berita online.
2. 15% pergi ke luar negeri dalam dua tahun terakhir, dan sebagian besar pergi ke Bali (atau destinasi wisata utama lain)
3. Berkunjung ke mall setidaknya dua kali seminggu dan menghabiskan rata-rata Rp 120.000,00 untuk makanan dalam kunjungan mereka.
4. 88% memiliki microwave dan 100% memiliki kulkas, AC, serta mesin cuci.
5. 100% memiliki ponsel dengan 50% menggunakan lebih dari 1 handset. Untuk keperluan komunikasi ini mereka mengeluarkan rata-rata Rp 127.000,00 untuk tiap ponsel.
6. 84% memiliki komputer pribadi.
Dalam proses keputusan pembelian, selain mendengarkan pendapat dari pasangannya, yuppie couples juga sangat memperhatikan kualitas produk, rekomendasi dari teman, dan online review dari para pengguna internet.

Nielsen (2010) mengungkapkan insight penting mengenai cara untuk menjangkau para yuppie couples ini:
1. Quality is a paramount
Sebagai sosok yang menghargai kerja keras, para yuppie couples juga menuntut perolehan standar yang tinggi dari apa yang mereka terima. Ketika mereka membeli sebuah produk maka mereka telah menetapkan serangkaian ekspektasi terhadap kualitas produk tersebut. Apabila produk tersebut tidak mampu memenuhi ekspektasi mereka, maka bukan tidak mungkin mereka akan berhenti membeli produk tersebut atau bahkan menyebarkan buzz negatif terhadap brand tersebut kepada lingkungan mereka.
2. Willing to pay a bit extra for convenience
Ritme hidup yang cepat dan padat mendorong para yuppie couples untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mereka bersedia untuk membayar lebih untuk memperoleh kenyamanan dan mempersingkat waktu seperti valet atau antrian VIP.
3. Modern and liberal
Lingkungan sosial yang lebih luas dan pendidikan tinggi yang mereka peroleh cenderung membuka pikiran para yuppie couples menjadi lebih modern dan liberal. Mereka bukan tipe yang konservatif dalam berbagai hal.
4. Like brands with "his&her" designs
Mereka senang terlihat sebagai pasangan yang sempurna dan terkadang memiliki kebutuhan untuk memperlihatkannya kepada dunia luas. Salah satunya melalui penggunaan item fashion yang sama atau produk dari brand yang sama dengan warna dan desain yang berbeda (his and her design).
5. Online marketing is an effective way to reach them
Aktivitas pekerjaan mereka menuntut mereka untuk selalu terhubung dengan banyak orang melalui jaringan internet. Di masa sekarang, internet tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari mereka sehingga kanal pemasaran yang efektif adalah melalui media online.
6. They are business savvy, and require credible yet convincing communications
Mereka merupakan konsumen yang menyadari kualitas suatu brand sehingga dalam mengkomunikasikan brand Anda, Anda harus melakukannya secara berimbang baik dari segi kualitas maupun brand image yang dibangun. Selain itu, kondisi dalam counter harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan kenyamanan bagi mereka. Ingat, counter merupakan ruang display yang juga menjadi salah satu kanal pemasaran.
7. They stay atop contemporary trends
Wawasan dan pergaulan mereka yang luas menuntut mereka untuk memiliki sensitivitas terhadap tren-tren masa kini. Tidak hanya berwujud tangible trend saja seperti fashion atau gadget, pilihan gaya hidup terkini juga tidak luput dari perhatian mereka.


Paparan tersebut merupakan insight umum dari yuppie couples. Sebagai pemasar dan pelaku dunia industri, agaknya segmen ini harus mulai didekati mengingat besar share rupiah yang mungkin Anda dapatkan di kemudian hari.


Referensi:
Tulisan ini diadaptasi dari Majalah Marketing. Yuppie Couple. No. 01/XI/Januari 2011
Consumer Research, Nielsen Indonesia. http://www.blog.nielsen.com/

Friday, June 10, 2011

Sometime in June

I am welcoming the June and what happened in June?


Ya, hari ini adalah hari kesepuluh di bulan Juni. Setidaknya bagi saya bulan Juni adalah bulan yang penting karena yes, I'm in love in June! :)
Jika -mayoritas- orang menganggap bulan Februari sebagai bulan penuh cinta, maka saya akan memilih Juni sebagai bulan cinta. Yes, we were starting our story in June, 20 Juni tiga tahun lalu lebih tepatnya.
Sometime in June. Dalam tiga tahun terakhir, bulan Juni selalu memberikan nuansa yang berbeda meski semuanya sama istimewa. Tiga tahun yang lalu, saya tidak mengira Juni akan menjadi bulan cinta. Saya menjalin kedekatan dengannya dan menemukan keunikan yang sebelumnya tidak pernah saya temukan. Kenyamanan, kekaguman, perlindungan, harapan, optimisme, sekaligus rivalitas saya temukan menjadi satu berpadu dalam wujud dirinya. Tuhan berkehendak di hari ke-dua puluh di bulan Juni tiga tahun lalu, kami setuju untuk bersama membangun komitmen, mewujudkan harapan, berjibaku dalam segala kompromi dan sesekali argumentasi, menjadi partner yang saling berkontribusi bagi satu sama lain.
Sometime in June. Dua tahun yang lalu, kami masih dalam proses mencari bentuk. Proses ini penuh warna. Dalam dunia akademis kami, kami saling mendukung meski beberapa kali menjadi rival yang saling berkompetisi. Awalnya tentu saja rasanya aneh tapi jujur saja ini menarik dan challenging bagi kami. And oh yes, I love our anniversary gift that he gave for me! Di tahun ini pula kami mulai mencari hadiah ulang tahun pertama untuk satu sama lain. Rasanya lucu sekali mencari hadiah dengan agak clueless apakah dia akan suka hadiahnya atau tidak.
Sometime in June. Satu tahun yang lalu, saya masih ingat bagaimana rasanya kami mencari hadiah anniversary. Di tahun ini kami sepakat untuk bertukar hadiah dan lucunya ternyata hadiah yang kami tukarkan sama! Di tahun ini, dalam kehidupan akademis kami mulai menekuni minat kami, rajin berkompetisi, sesekali menjadi partner, sesekali menjadi rival, kami sudah mulai menemukan dan membangun bentuk, dalam kebersamaan kami pun segalanya alhamdulillah menjadi lebih stabil.
Sometime in June. Tahun ini, bulan Juni baru menginjak hari ke-sepuluh. Di tahun ini kami sepakat untuk kembali bertukar hadiah. Bedanya, jika tahun lalu kami saling merahasiakan hadiah maka di tahun ini kami sepakat untuk memberikan hadiah sesuai keinginan masing-masing. Minggu depan kami berencana untuk mencari perkiraan hadiah, and to be honest I still don't know what kind of gift I want. Di tahun ketiga, alhamdulillah semuanya jauh lebih baik. Lebih stabil, lebih mampu menghargai, lebih mampu menjaga bentuk, dan segalanya menjadi lebih baik. Semuanya semakin menyenangkan karena bulan ini kami lulus kuliah! :D Ya, di bulan ini tepatnya tanggal 7 lalu saya lulus begitu pula dengan Dhidha yang lulus tanggal 9 kemarin. Artinya, kami sama-sama lulus sebelum menempuh empat tahun pendidikan tinggi kami. Artinya lagi, kami akan segera memulai dunia baru dalam bidang akademis, pekerjaan, dan sosial kami. Artinya lagi lagi, kami semakin dekat dengan resolusi dan harapan kami. :)
When I was kid, I used to think how does it feels to be an adult. And I grow up now! Dan saya sangat bersyukur karena saya tidak sendiri. Yes, here is him. Standing right beside me, and stay with me through my good and bad.

Sometime in June, I can't wait to see you soon our next June.

Friday, May 27, 2011

Susahnya Mencari Sekolah (Netral)

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca salah satu keluhan seorang ayah yang merasa kesulitan untuk mencari sekolah untuk putranya yang baru berusia 3,5 tahun. Kesulitan yang dialami beliau bukan seputar keterbatasan biaya untuk menyekolahkan putranya di tengah himpitan biaya sekolah yang mahal, bukan pula tentang kesulitan mencari sekolah atau play group yang bersedia menerima murid dengan usia 3,5 tahun. Kesulitan yang dialami beliau berangkat dari sebuah kekhawatiran akan kurikulum yang diajarkan dalam materi pendidikan di sekolah tersebut. Netralitas. Susahnya mencari sekolah netral.
Netralitas di sini tidak berarti sekolah yang secara memiliki independensi dari segi konglomerasi atau hal lain. Netralitas dalam hal ini menyangkut tentang kebebasan dari pengajaran keagamaan yang membebani. Netralitas yang mana sekolah mampu menjadi wadah penyemaian identitas kultural yang plural, solider, dan mengajarkan penghargaan terhadap orang lain (sesama peserta didik lain) yang berbeda latar belakang sosio-kultur. Netralitas yang mengedepankan "Bhinneka Tunggal Ika" atau "Unity in Diversity" sebagai pijakan utama yang membentuk kepribadian anak sebagai peserta didik.
Kegelisahan saya atas netralitas sekolah saat ini bukan tanpa alasan. Seiring dengan perkembangan pendidikan saat ini saya melihat banyak perubahan yang terjadi. Belakangan, saya melihat bahwa tren kegiatan belajar mengajar berbasis agama tertentu mulai menjadi tren (perkecualian untuk sekolah-sekolah swasta yang memang berbasis keagamaan, dominasi pendidikan agama yang diajarkan memang sudah selayaknya dapat dipahami tapi harus tetap dalam kaidah yang benar dan tidak mengajarkan kebencian). Tidak masalah memang jika pendidikan tersebut benar-benar berbasis agama yang juga mengajarkan untuk menghargai orang lain yang mungkin memiliki perbedaan agama.
Berbagai jenjang pendidikan sejak pra-TK hingga perguruan tinggi sarat dengan isu-isu keagamaan yang bervariasi. Saya mendengar cerita dari ayah yang di awal tadi saya ceritakan bahwa di salah satu sekolah pra-TK salah satu materi permainan "bermain dan berkumpulnya" adalah mengidentifikasi teman-temannya. Awalnya, siswa diminta untuk berkumpul sesuai dengan jenis kelaminnya, menurut jenis rambut (lurus atau ikal), dan berujung dengan sesuai agama. Tidak salah untuk mengajarkan anak berbagai agama yang ada di Indonesia, tapi kemudian berlebihan menurut saya jika berkumpul dengan teman-teman yang seagama "saja" sebagai salah satu pijakan dalam mengidentifikasi orang lain. Sekolah dalam level dini seolah menjadi kontestasi ideologi agama bagi seorang balita.
Dalam level pendidikan yang lebih tinggi, saya cukup terkejut ketika beberapa waktu lalu pendidikan agama menjadi salah satu materi yang diujikan dalam USBN. Bukan masalah memang mendorong kaum muda menjadi lebih religius, namun ketika hal tersebut diujikan dalam level USBN dan hanya agama tertentu saja yang diujikan tentunya mengundang tanda tanya. Sekali lagi, sekolah sebagai wadah penyemaian identitas pluralisme yang solider dan toleran seolah berubah menjadi wadah penyemaian identitas keagamaan yang dogmatis dan ritualistik.
Ritualitas tersebut tercermin dari sebuah fenomena menarik yang mana di beberapa daerah saya menemukan adanya kebijakan bagi para peserta didik perempuan dalam level apapun yang beragama Islam diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah yang panjang dan berjilbab. Di sini, sekolah bahkan menjadi salah satu institusi yang "dipaksa" menjadi wadah yang memerantarai ritualitas keagamaan dalam level pendidikan bahkan yang menyangkut hal-hal luaran seperti pakaian, seragam sekolah. Bukankah setiap peserta didik seharusnya memiliki otonomi bagi dirinya sendiri untuk memilih menggunakan seragam sekolah yang berjilbab atau tidak berjilbab sebagai pakaiannya (sekali lagi, ini tidak berlaku untuk sekolah swasta yang berbasis agama. Kita harus menghormati kebijakannya sesuai dengan basis yang dipijaknya). Bukankah pakaian itu hal yang sangat personal? Bukankah tujuan utama dari penggunaan seragam sekolah adalah menyeragamkan para siswa hingga tidak terjadi ketimpangan atau perbedaan berbasis latar belakang sosio-kultural-ekonomi di antara mereka? Bukankah seragam artinya satu ragam? (Tentunya ini mengabaikan para siswa yang memang dengan kesadarannya sepenuh hati memilih untuk mengenakan seragam berjilbab).
Jika menilik dari fungsi sekolah menurut Mukhlison (2008) sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:
  • sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan. diharapkan anak yang telah menyelesaikan sekolahnya dapat melakukan suatu pekerjaan atau setidaknya sebagai bekalnya mencari pekerjaan.
  • sekolah memberikan keterampilan dasar.
  • sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib.
  • sekolah membentuk manusia sosial.
Fungsi sekolah salah satunya membentuk manusia sosial. Masihkah sekolah dapat menjalankan fungsi tersebut apabila nilai-nilai kemanusiaan universal yang dimilikinya semakin tipis?
USBN Pendidikan Agama menurut saya juga layak untuk dikaji ulang terlebih ketika hanya agama tertentu saja yang diujikan. Apakah tujuannya untuk mengangkat pendidikan agama berada di posisi yang lebih menarik bagi peserta didik? Jika hal tersebut yang terjadi, penilaian pendidikan agama dengan cara yang semacam itu tentunya bukan langkah yang tepat karena ketertarikan peserta didik akan lebih murni dan terjadi dengan penuh kesadaran jika proses pengajarannya baik dan menarik.
Saya setuju jika setiap agama mengajarkan kebaikan dan nilai suci kepada setiap pemeluknya. Benar bahwa setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk membela, menyebarkan, dan patuh pada ajaran agamanya. Akan tetapi bukankah hal tersebut seharusnya juga disesuaikan dengan kondisi sosilogis, antropologis, dan historis dimana pemeluk tersebut berada? Jika kondisinya homogen, mungkin tidak jadi soal. Namun jika kondisinya multikultur dan multireligius tentu perlu dirumuskan dengan bijak agar tidak terjadi pengkultusan dan pembelaan buta yang berbahaya bagi kehidupan sosial.
Agaknya saat ini, eksklusivitas kebenaran agama dan pengabaian pluralitas dalam pendidikan harus segera dibenahi. Pendidikan agama tentu tetap menempati posisi dan porsi yang penting. Akan tetapi, pendidikan agama yang plural merupakan pendidikan yang saya yakini lebih baik. Pendidikan agama yang tetap mengkaji ajaran agama sesuai dengan yang dipeluk oleh setiap peserta didik sesuai dengan porsi dan adaptasinya terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai moral seperti toleransi, kasih sayang, tolong menolong, cinta kasih, tenggang rasa, penghormatan, dan nilai-nilai kemanusiaan universal lainnya. Jika sudah begitu, agaknya tidak akan sulit lagi mencari sekolah yang netral.

Referensi:
Effendi, Mukhlison. 2008. Ilmu Pendidikan. Ponorogo: STAIN Ponorogo.

[Repost] Sebelum Kau Pergi

ku temani kau sampai gerimis berhenti.
tak hanya kini tapi juga nanti.
bahkan ketika tak ada lagi ruang tersisa untuk titik atau koma.

paragraf terakhir, cinta. yang tercantik di antara semua...



Repost from: http://venus-to-mars.com/2011/02/19/repost-sebelum-kau-pergi/

Tuesday, May 24, 2011

Fiksi dan Perangkap Ruang Imajinasi Perempuan

"If you can capture a woman's imagination, then you will have her. But imagination is a strange creature. It needs time and distance to function properly." |Kathleen Tessaro - The Flirt, p. 288|

Beberapa pekan yang lalu adik saya membawa pulang sebuah novel fiksi roman tentang vampir yang jatuh cinta pada manusia. Tidak perlu saya sebutkan judul bukunya, saya yakin semua pasti sudah mengetahui novel apa yang saya maksud. Novel yang diangkat ke layar lebar ini tidak hanya menjadi best-seller di seluruh dunia. Filmnya mampu menjadi salah satu film terlaris yang ditunggu oleh jutaan audiens di setiap belahan dunia. Lebih dari itu, cerita dalam novel maupun film tersebut -yang tentu saja sama, kan film itu based on novel- mampu menjadi sebuah penjara imajinasi bagi target audiens primernya, kaum hawa.
Perempuan -umumnya- mana yang tidak jatuh hati pada sosok vampir rupawan yang ditampilkan dalam novel tersebut. Deskripsi ketampanan, great treatment pada perempuan, kekuatan fisik -terlepas dari kekuatan supranaturalnya, kan vampir-, dan sosok maskulin yang sesuai dengan imajinasi perempuan ditampilkan secara jelas dalam setiap chapter dalam novel ini. Pengarang seolah mampu membangunkan imajinasi bawah sadar perempuan akan sosok laki-laki yang ideal dengan pendekatan yang sangat feminin. Berbeda dengan beberapa produk media lain, misalnya iklan rokok yang menampilkan sosok laki-laki ideal namun dengan pendekatan yang maskulin sehingga perempuan seolah berada dalam posisi yang terabaikan.
Imajinasi tidak berdiri sendiri menjadi suatu entitas yang tidak berkaitan dengan objek lainnya. Sesungguhnya, setiap peran yang dimainkan oleh setiap orang dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari imajinasi yang mengendap dalam kehidupan sosial kita (Appadurai, 1996). Melalui berbagai produk media, terbentuklah konstruksi peran yang dimainkan oleh setiap orang sesuai dengan gendernya. Menarik kemudian untuk memahami suatu hal bernama imajinasi -yang cenderung merujuk pada makna yang tidak nyata- mampu memberikan implikasi yang besar terhadap konstruksi peran yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih menarik lagi, ketika salah satu kontributor dalam konstruksi tersebut adalah sebuah novel fiksi.
Endapan konstruksi imajinasi yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah perangkap yang memenjarakan gambaran idealitas menjadi hal yang mutlak, khususnya bagi para dominant-hegemonic reader, sosok-sosok yang menyepakati dan menerima keseluruhan pesan media yang diterimanya. Bagi para perempuan dominant-hegemonic reader, sosok yang ditemukannya dalam novel mampu menjadi sebuah indikator ideal maskulinitas seorang laki-laki. Asumsi tersebut bahkan kerap menjadi dogma yang diamininya dengan melihat bahwa semakin menyerupai sosok laki-laki yang ditemuinya dalam kehidupan nyata dengan sosok laki-laki dalam novel tersebut, maka akan semakin ideal pula maskulinitas laki-laki tersebut.

Berbeda dengan para negotiated reader, sosok-sosok yang menyepakati prinsip dari pesan media namun tetap menegosiasikan beberapa bagian dari pesan tersebut, idealitas dalam imajinasi tersebut tidak kemudian begitu saja diterapkan dalam kehidupan sosialnya. Perempuan-perempuan ini menyepakati idealitas sosok maskulin dalam sosok yang ditampilkan dalam novel tersebut, namun mereka memiliki kesadaran bahwa sosok tersebut hanya hidup dalam novel dan buku cerita lainnya. Tidak pernah ada kenyataan yang semanis imajinasi. Mereka tidak pernah menerapkan karakter sosok dalam novel tersebut sebagai sosok yang paten dalam menakar idealitas maskulin seorang laki-laki dalam dunia nyata. Sosok laki-laki ideal -yang tentu saja fana- dalam novel tersebut kemudian menjadi sebuah pelarian atas imajinasi yang mereka sadari tidak akan pernah terjawab. Pelarian ini mengingatkan saya pada riset-riset terdahulu tentang relasi antara audiens perempuan dan opera sabun. Ien Ang (1985) melakukan riset tentang kepuasan (pleasure) yang dirasakan oleh audiens saat menonton opera sabun, Dallas yang kala itu tengah berada di puncak popularitasnya. Ang (1985) mengkaji tentang mekanisme yang ada dalam membangkitkan kepuasan audiens ketika menyaksikan opera sabun tersebut. Sementara itu riset lain dilakukan oleh Tania Modleski (1982) menghasilkan keterangan bahwa secara psikologis kaum perempuan menyukai -bahkan kerap kali terikat- opera sabun karena alur ceritanya memiliki kemiripan dengan perjalanan hidup audiens tersebut sebagai perempuan. Adapun secara institusional, kaum perempuan keterikatan kaum perempuan dengan opera sabun terjadi karena sosok perempuan dalam opera sabun tersebut mampu memberikan gambaran ideal tentang keberhasilan aktivitas multi-tasking yang dilakukan oleh kaum perempuan. Sehingga secara tidak langsung opera sabun dianggap mampu merefleksikan hasrat perempuan secara temporer.
Selain kedua sosok audiens tadi, satu sosok audiens yakni oppositional reader, sosok-sosok yang tidak menyetujui pesan media yang diterimanya tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi oppositional reader, mereka menolak idealitas sosok maskulin dari sosok laki-laki dalam novel. Alasan penolakan ini tentunya juga bersifat personal karena imajinasi sendiri merupakan "produk pribadi" yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bisa jadi, imajinasi sosok maskulin yang ideal menurut para perempuan dalam kategori ini berbeda dengan sosok maskulin yang ideal bagi perempuan dalam kategori lain.
Terlepas dari posisi manapun yang ditempati oleh masing-masing audiens, imajinasi perempuan telah memberikan inspirasi yang luar biasa terhadap konstruksi peran yang dimainkan oleh setiap orang. Justifikasi atas peran tersebut dipengaruhi oleh seberapa kuat imajinasi tersebut mampu mengakar dalam standar hidup sang perempuan. Benar ketika kehidupan sosial menjadi salah satu pihak yang mengkonstruksikan peran berbasis gender. Akan tetapi, lebih daripada itu imajinasi agaknya juga menjadi pihak yang dominan dalam proses pengkonstruksian tersebut.
Bagi saya sendiri, komodifikasi ruang imajinasi perempuan terhadap pesan media jelas bukan merupakan sesuatu yang salah. Berbicara tentang komodifikasi, artinya bicara juga tentang konsep ekonomi politik media. Ketika ruang imajinasi ini dijual dalam wujud konten-konten media, maka "sang pemilik imajinasi" tidak diragukan lagi akan menjadi konsumen loyalnya.
If you can capture a woman's imagination, then you will have her.


Friday, April 8, 2011

. . . pulang

ketika matahari hampir tiba, semesta mendengarkan aku membisikkan: tidak ada yang perlu dikejar, mencobalah untuk menjadi baik hingga aku tahu aku akan baik-baik saja. waktu bukanlah lotere tapi hadiah yang selalu melimpah. aku bisa mengambilnya kapan pun lengkap dengan warnanya.

-18 Maret 2011, 20.37 WIB, a friend who is near and dear-

Sunday, March 27, 2011

Kampanye Pepsodent, "Sikat Gigi Pagi+Malam" (2)

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis tentang kampanye komunikasi pemasaran yang diusung oleh Pepsodent bertajuk "Sikat Gigi Pagi+Malam" yang menampilkan sosok Ayah Adi dan Dika (Irgi Fahrezi dan Dimas) sebagai endorser mereka. Kampanye ini sendiri diluncurkan pada bulan Oktober 2007 dan rangkaiannya masih berjalan hingga saat ini. Terhitung sejak saat itu hingga sekarang secara umum untuk dilihat dari awareness audiens terhadap kampanye ini sangat besar. Indikasinya, audiens dengan mudah dapat melakukan recall pada TVC kampanye ini yang dikemas dalam balutan kehangatan dan komedi khas relasi ayah-anak.
Di tulisan sebelumnya saya cenderung menekankan pada aspek interaksi sosial yang coba dibangun oleh Pepsodent sebagai gambaran bahwa praktek menyikat gigi sebagai salah satu bagian dari aktivitas pengasuhan anak yang umumnya dibebankan pada sosok ibu sesungguhnya juga merupakan beban ayah, dimana tanggung jawab tersebut tidak harus dilakukan dengan cara yang kaku melainkan melalui cara-cara yang menarik dan lebih jauh lagi dapat menumbuhkan keakraban dan kedekatan antara ayah-anak ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas waktu. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini saya akan menekankan tentang tinjauan umum konten kampanye itu sendiri.
Saya berkesimpulan bahwa tujuan dilakukannya kampanye ini ditinjau dari sisi marketing and communication objectivenya tidak semata-mata menekankan pada perolehan profit yang besar dari penjualan. Hal tersebut diindikasikan dari peta porsi dalam kue persaingan berbagai brand pasta gigi. Dalam Top Brand Index 2011 bagian pertama di tahun ini, Pepsodent berhasil mempertahankan posisinya sebagai market leader selama bertahun-tahun di angka 73.6% disusul dengan brand Ciptadent (9.8%), Formula (6.3%), Close Up (6.0%), dan Sensodyne (1.0%). Sehingga tujuan dari kampanye ini di luar tujuan pemasarannya adalah memperkukuh posisinya sebagai market leader, membangun customer relationship, meningkatkan brand loyalty, serta mengedukasi cara berkomunikasi dan edukasi yang menarik dalam membangun kedisiplinan anak menggosok gigi setiap hari.
Membangun kedisiplinan bagi anak untuk menggosok gigi memang bukan perkara yang mudah. Faktor kemalasan anak dan tidak adanya peringatan orang tua pada anaknya diindikasikan merupakan faktor utamanya. Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) menunjukkan bahwa dari 91.1% masyarakat Indonesia yang menggosok gigi setiap hari hanya 7.3% yang menggosok giginya setelah sarapan dan sebelum tidur. Artinya, masyarakat kita sangat membutuhkan edukasi tentang pentingnya menggosok gigi di pagi dan malam hari, bukan hanya saat mandi pagi dan sore saja.
Melalui kampanye "Sikat Gigi Pagi+Malam", Pepsodent menyuguhkan beberapa tips menarik yang mendorong tidak hanya minat anak untuk menggosok gigi namun juga kehangatan interaksi antara ayah dan anak. Setidaknya ada lima tips yang disuguhkan oleh Pepsodent melalui TVCnya versi Monster, Lagu, Bau Mulut, Gantian, dan Ksatria. Selain itu, Pepsodent juga membuka kesempatan bagi audiens untuk mengirimkan tips dan trik mereka maupun cerita mereka dalam mengimplementasikan tips dan trik yang disuguhkan oleh Pepsodent. Cara tersebut merupakan sarana untuk membangun interaktivitas dan kedekatan antara brand dengan konsumennya.
Selain melalui kontes, kanal lain yang dipilih oleh Pepsodent dalam mengedukasi kedisiplinan anak dalam menggosok gigi dan mengembangkan relasi antara orang tua-anak secara menarik dikemas dalam"Toothometer" dan "Kontrak Perjanjian Menyikat Gigi" antara orang tua-anak. Dalam "toothometer" tersebut dapat dipantau kedisiplinan anak dalam menggosok giginya setiap hari. Sementara itu, melalui "Kontrak Perjanjian Menyikat Gigi" dapat diterapkan sistem reward-punishment antara orang tua-anak berkaitan dengan praktek menggosok gigi mereka. Melalui kontrak ini, anak dihadapkan pada kondisi dimana dia merasa cukup "besar" untuk bertanggung jawab terhadap kontrak tersebut, anak akan memiliki kepercayaan diri dan tercipta keadilan di antara anak dan orang tua.
Selain melalui kedua pilihan kanal tersebut, Pepsodent juga menyuguhkan permainan (games) edukatif melalui websitenya http://www.sikatgigipagimalam.com/ atau versi internasionalnya lewat sosok Pablo&Oliver di http://www.brushdayandnight.com/ serta komik yang dapat diunduh sebagai bahan cerita orang tua pada anak sebelum tidur (bed time stories). Dalam komik tersebut kembali ditampilkan maskot Pepsodent Pepo dan Sigi sebagai tokoh sentral dalam cerita.
Media foto juga dimanfaatkan oleh Pepsodent sebagai bagian dari konten websitenya ini. Dengan mengunggah foto kita ke website ini kita dapat melakukan pengeditan sederhana dengan bingkai (frame) menarik bagi anak-anak sekaligus menyimpan file foto tersebut. Melalui website ini, kita juga dapat memperoleh panduan tentang cara menggosok gigi yang benar sesuai dengan umur anak.
Secara keseluruhan, meskipun kampanye ini masih berlangsung dan belum dapat diukur keberhasilannya secara menyeluruh, Pepsodent telah mengusung sebuah konsep kampanye komunikasi pemasaran yang cerdas, edukatif, dan memiliki nilai interaktivitas yang besar. Saya pribadi memprediksi bahwa lewat kampanye ini, Pepsodent tentunya akan kembali mempertahankan posisinya sebagai market leader, serta terjadi peningkatan interaktivitas dengan konsumennya.

Referensi:
http://www.sikatgigipagidanmalam.com/
http://brushdayandnight.com/
Top Brand Index 2011 dalam Majalah Marketing 02/XI/Februari 2011
Images taken from Google and this campaign's website

Saturday, February 5, 2011

Note For Every Men About Their Woman

The woman in your life...
Tomorrow you may get a working woman, but you should marry her with these facts as well.

Here is a girl,
Who is as much educated as you are. Who is earning almost as much as you do.
Who has dreams and aspirations just as you have, because she is as human as you are.

Who has never entered the kitchen in her life just like you or your sister haven't, as she was busy in studies and competing in a system that gives no special concession to girls for their culinary achievements.

Who has live and loved her parents and brothers and sisters, almost as much as you do for 20-25 years of her life.
Who has bravely agreed to leave behind all that, her home, people who love her, to adopt your home, your family, your ways, and even your family name.

Who is somehow expected to be a master-chef from day #1, while you sleep oblivious to her predicament in her new circumstances, environment, and that kitchen.

Who is expected to make the tea for you, first thing in the morning and cook food at the end of the day. Even she is as tired as you are, maybe more, and yet never ever expected to complain; to be a servant, a cook, a mother, a wife, even if she doesn't want to; and is learning just like you are as to what you want from her; and is clumsy and sloppy at times and knows that you won't like it if she is too demanding, or if she learns faster than you.

Who has her own set of friends and that includes boys and even men at her workplace too, those, who she knows from school days and yet is willing put all that on the back-burners to avoid your irrational jealousy, unnecessary competition, and your inherent insecurities.

And yes, she can drink, dance, and hanging out in the night just as well as you can, but she won't. Simply because you won't like it, even though you say otherwise.

Who can be late from work once in a while when deadlines, just like yours.

Who is doing her best level and wants to make this most important relationship in her entire life a grand success, if you just help her some and trust her.

The one who just wants one thing from you, as you are the only one she knows in your entire house -your unstinted support, your sensitivities, and most importantly your understanding, or love, if you may call it.

But not many guys understand this....
Please appreciate "HER"
I hope you will do.

Sunday, January 16, 2011

It Had To Be You

For nobody else give me a thrill
With all your faults I love you still
It had to be you, wonderful you
It had to be you...

- It Had To Be You, Harry Connick&Frank Sinatra-

Friday, January 14, 2011

Happy Birthday, Baby D!

Today, January 15th 2011 is his birthday. Its his 22 y.o birthday, which is I still can't believe it. We were only 19 y.o when we decided to be together and here we are, celebrating his 22 y.o. I can't wait to celebrate the next year, and next, and the next after next year, and the next after next next year, and the next after next next next year, and every year with him. Well, baby you're always in my thought in a special ways. Always send you the best pray today and everyday. But this is your birthday, you're very special day. So, I send you a special birthday pray, too.
I wish you to be a great lover for us, a great son for your parents, a great brother for your sibling, a great grandson for your grandparents, a great nephew for your family, a great future husband, a great dad, a great friend for your friends, a great person for everyone.
You know, I do love you.

Happy Birthday, My Baby D. Happy Birthday, My Man. Happy Birthday, My Sunshine.


p.s. Well, I know 22 y.o. is not a boy anymore. But there is no term of "Birthday Man", I guess. Its always "Birthday Boy" and the "Birthday Girl".

Thursday, January 13, 2011

24 Hours To Go For His Day

Dhidha would have his 22nd birthday tomorrow. Oh my God, I can't believe it. Baby, you're old now hehehe :p
I just remember we were only 19 y.o when we met and be with together. I just remember, still and always keep his birthday card for me when I was 19, 20, and 21 y.o. I'm gonna have my 22 y.o this September, still eight months to go.
I can't hardly wait to see him getting his present. I can't hardly wait to see him smiling and surprised finding the present I choose. I can't hardly wait to make a wish with him. I can't hardly wait to celebrate his day just the two of us. I can't hardly wait to see him super soon.
Ah, I miss him already.

Saturday, January 8, 2011

You Are What You Tweet: Twitter, Media "Penjujuran" Diri

Tulisan ini sudah ada di kepala saya sejak beberapa bulan yang lalu dan kemudian direfresh kembali setelah berbincang dengan Arien, salah satu sahabat saya beberapa hari yang lalu. Kami membicarakan tentang bagaimana media sosial, khususnya twitter mampu menjadi media "penjujuran" diri bahkan lebih jujur dibandingkan dengan realitas nyata.
Kita sering sekali menemukan beberapa tagar/hashtag di Twitter misalnya berlabelkan #nomention, #abaikan, #random atau tweet yang berisi curhat pribadi. Pada dasarnya, pengguna Twitter yang menuliskan tweet bertagar tersebut hanya mempublikasikan apa yang ingin disampaikannya saja. Namun di balik itu semua, asumsinya apa yang ada di benak mereka dapat diraba melalui tweet tersebut. Dengan kata lain, hampir 90% dari kita dapat kemudian menduga atau membaca perasaan dan pikiran orang lain melalui tweet mereka.

Uniknya, sebagian para pengguna Twitter tersebut dalam dunia nyata mati-matian berusaha tidak ingin perasaan atau pikirannya tersebut diketahui oleh orang lain. Sehingga tweet mereka kemudian sering ditambahi embel-embel #nomention atau tagar-tagar lainnya. Padahal semakin tinggi intensitasnya mengupdate status-status yang provokatif diikuti dengan tagar-tagar tertentu justru semakin mudah perasaan atau pikiran mereka diduga oleh follower yang membaca tweet mereka. Tidak hanya akun Twitter personal, beberapa kuis dan soal-soal via Twitter pun sedikit banyak jika ditilik lagi bisa jadi merupakan curahan hati sang admin atau responden twitter yang mem-publish status tersebut. Tidak salah memang curhat atau berkeluh kesah di Twitter, ini hanya soal cara masing-masing orang mengekspresikan perasaan dan ide-idenya.
Perilaku mengupdate status Twitter merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Ada pengguna yang frekuensi updating-nya jarang, sering, bahkan sering sekali hingga mungkin dalam hitungan jam dia sudah mengupdate beberapa status Twitternya beberapa kali. Tentunya updating status Twitter ini bukan tanpa alasan. Hermawan Kartajaya, salah seorang pengamat marketing di Indonesia pernah mengemukakan penemuannya bahwa mayoritas masyarakat (khususnya anak muda) mengupdate statusnya untuk memperoleh perhatian. Mereka senang ketika status mereka direspon dan mampu menimbulkan sebuah perbincangan di dunia maya.
Twitter sebagai sebuah realitas virtual mau tidak mau harus diakui sebagai sebuah media "penjujuran" diri. Twitter menjadi sebuah wadah dimana penggunanya mampu menyingkap kejujuran diri mereka baik sengaja maupun tidak sengaja.
Benar adanya jika sekitar satu dekade sebelumnya realitas maya merupakan hal yang absurd dimana self disclosure menjadi hal yang sangat mewah. Benar adanya jika saat ini kita masih harus tetap waspada dengan identitas virtual yang mungkin menyesatkan. Namun, benar juga adanya jika saat ini Twitter sebagai bagian dari media sosial mampu menyeret realitas nyata ke dalam dunia virtual kita sebagia bagian dari "penjujuran diri" baik sengaja maupun tidak disengaja dalam identitas virtual.

Chocolate Cupcake for Carin's Birthday

Many things I'm about to write tonight and having no idea which one to be wrote first. So, I decided to write and share a picture of birthday cupcake that I just finished bake it today.
It's still chocolate cupcake with the butter cream and fondant decoration. The cupcake is served for my cousin, Carin who is having her birthday today and about going to study abroad this/next month. Besides the cupcake, I also made the birthday card. I'm using A4 HVS paper, kuarto, and origami paper as the material. And here they are.
Actually the cake would be served as a surprise cake tonight, but unfortunately it was rain in the evening then the meeting was canceled. Some hours later (definitely means right now when I am typing this), the rain already abate but still we can't meet because she is going out with her parents. So, we just make up new plan about tomorrow that she and my other cousin will come to my house. I hope the frost won't be in damaged since I just put it on my dining table along the night.

p.s. Happy Birthday, Carin! Wish you all the best dear. :)