Friday, May 27, 2011

Susahnya Mencari Sekolah (Netral)

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca salah satu keluhan seorang ayah yang merasa kesulitan untuk mencari sekolah untuk putranya yang baru berusia 3,5 tahun. Kesulitan yang dialami beliau bukan seputar keterbatasan biaya untuk menyekolahkan putranya di tengah himpitan biaya sekolah yang mahal, bukan pula tentang kesulitan mencari sekolah atau play group yang bersedia menerima murid dengan usia 3,5 tahun. Kesulitan yang dialami beliau berangkat dari sebuah kekhawatiran akan kurikulum yang diajarkan dalam materi pendidikan di sekolah tersebut. Netralitas. Susahnya mencari sekolah netral.
Netralitas di sini tidak berarti sekolah yang secara memiliki independensi dari segi konglomerasi atau hal lain. Netralitas dalam hal ini menyangkut tentang kebebasan dari pengajaran keagamaan yang membebani. Netralitas yang mana sekolah mampu menjadi wadah penyemaian identitas kultural yang plural, solider, dan mengajarkan penghargaan terhadap orang lain (sesama peserta didik lain) yang berbeda latar belakang sosio-kultur. Netralitas yang mengedepankan "Bhinneka Tunggal Ika" atau "Unity in Diversity" sebagai pijakan utama yang membentuk kepribadian anak sebagai peserta didik.
Kegelisahan saya atas netralitas sekolah saat ini bukan tanpa alasan. Seiring dengan perkembangan pendidikan saat ini saya melihat banyak perubahan yang terjadi. Belakangan, saya melihat bahwa tren kegiatan belajar mengajar berbasis agama tertentu mulai menjadi tren (perkecualian untuk sekolah-sekolah swasta yang memang berbasis keagamaan, dominasi pendidikan agama yang diajarkan memang sudah selayaknya dapat dipahami tapi harus tetap dalam kaidah yang benar dan tidak mengajarkan kebencian). Tidak masalah memang jika pendidikan tersebut benar-benar berbasis agama yang juga mengajarkan untuk menghargai orang lain yang mungkin memiliki perbedaan agama.
Berbagai jenjang pendidikan sejak pra-TK hingga perguruan tinggi sarat dengan isu-isu keagamaan yang bervariasi. Saya mendengar cerita dari ayah yang di awal tadi saya ceritakan bahwa di salah satu sekolah pra-TK salah satu materi permainan "bermain dan berkumpulnya" adalah mengidentifikasi teman-temannya. Awalnya, siswa diminta untuk berkumpul sesuai dengan jenis kelaminnya, menurut jenis rambut (lurus atau ikal), dan berujung dengan sesuai agama. Tidak salah untuk mengajarkan anak berbagai agama yang ada di Indonesia, tapi kemudian berlebihan menurut saya jika berkumpul dengan teman-teman yang seagama "saja" sebagai salah satu pijakan dalam mengidentifikasi orang lain. Sekolah dalam level dini seolah menjadi kontestasi ideologi agama bagi seorang balita.
Dalam level pendidikan yang lebih tinggi, saya cukup terkejut ketika beberapa waktu lalu pendidikan agama menjadi salah satu materi yang diujikan dalam USBN. Bukan masalah memang mendorong kaum muda menjadi lebih religius, namun ketika hal tersebut diujikan dalam level USBN dan hanya agama tertentu saja yang diujikan tentunya mengundang tanda tanya. Sekali lagi, sekolah sebagai wadah penyemaian identitas pluralisme yang solider dan toleran seolah berubah menjadi wadah penyemaian identitas keagamaan yang dogmatis dan ritualistik.
Ritualitas tersebut tercermin dari sebuah fenomena menarik yang mana di beberapa daerah saya menemukan adanya kebijakan bagi para peserta didik perempuan dalam level apapun yang beragama Islam diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah yang panjang dan berjilbab. Di sini, sekolah bahkan menjadi salah satu institusi yang "dipaksa" menjadi wadah yang memerantarai ritualitas keagamaan dalam level pendidikan bahkan yang menyangkut hal-hal luaran seperti pakaian, seragam sekolah. Bukankah setiap peserta didik seharusnya memiliki otonomi bagi dirinya sendiri untuk memilih menggunakan seragam sekolah yang berjilbab atau tidak berjilbab sebagai pakaiannya (sekali lagi, ini tidak berlaku untuk sekolah swasta yang berbasis agama. Kita harus menghormati kebijakannya sesuai dengan basis yang dipijaknya). Bukankah pakaian itu hal yang sangat personal? Bukankah tujuan utama dari penggunaan seragam sekolah adalah menyeragamkan para siswa hingga tidak terjadi ketimpangan atau perbedaan berbasis latar belakang sosio-kultural-ekonomi di antara mereka? Bukankah seragam artinya satu ragam? (Tentunya ini mengabaikan para siswa yang memang dengan kesadarannya sepenuh hati memilih untuk mengenakan seragam berjilbab).
Jika menilik dari fungsi sekolah menurut Mukhlison (2008) sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:
  • sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan. diharapkan anak yang telah menyelesaikan sekolahnya dapat melakukan suatu pekerjaan atau setidaknya sebagai bekalnya mencari pekerjaan.
  • sekolah memberikan keterampilan dasar.
  • sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib.
  • sekolah membentuk manusia sosial.
Fungsi sekolah salah satunya membentuk manusia sosial. Masihkah sekolah dapat menjalankan fungsi tersebut apabila nilai-nilai kemanusiaan universal yang dimilikinya semakin tipis?
USBN Pendidikan Agama menurut saya juga layak untuk dikaji ulang terlebih ketika hanya agama tertentu saja yang diujikan. Apakah tujuannya untuk mengangkat pendidikan agama berada di posisi yang lebih menarik bagi peserta didik? Jika hal tersebut yang terjadi, penilaian pendidikan agama dengan cara yang semacam itu tentunya bukan langkah yang tepat karena ketertarikan peserta didik akan lebih murni dan terjadi dengan penuh kesadaran jika proses pengajarannya baik dan menarik.
Saya setuju jika setiap agama mengajarkan kebaikan dan nilai suci kepada setiap pemeluknya. Benar bahwa setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk membela, menyebarkan, dan patuh pada ajaran agamanya. Akan tetapi bukankah hal tersebut seharusnya juga disesuaikan dengan kondisi sosilogis, antropologis, dan historis dimana pemeluk tersebut berada? Jika kondisinya homogen, mungkin tidak jadi soal. Namun jika kondisinya multikultur dan multireligius tentu perlu dirumuskan dengan bijak agar tidak terjadi pengkultusan dan pembelaan buta yang berbahaya bagi kehidupan sosial.
Agaknya saat ini, eksklusivitas kebenaran agama dan pengabaian pluralitas dalam pendidikan harus segera dibenahi. Pendidikan agama tentu tetap menempati posisi dan porsi yang penting. Akan tetapi, pendidikan agama yang plural merupakan pendidikan yang saya yakini lebih baik. Pendidikan agama yang tetap mengkaji ajaran agama sesuai dengan yang dipeluk oleh setiap peserta didik sesuai dengan porsi dan adaptasinya terhadap lingkungan sosialnya. Pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai moral seperti toleransi, kasih sayang, tolong menolong, cinta kasih, tenggang rasa, penghormatan, dan nilai-nilai kemanusiaan universal lainnya. Jika sudah begitu, agaknya tidak akan sulit lagi mencari sekolah yang netral.

Referensi:
Effendi, Mukhlison. 2008. Ilmu Pendidikan. Ponorogo: STAIN Ponorogo.

No comments: