Tuesday, May 24, 2011

Fiksi dan Perangkap Ruang Imajinasi Perempuan

"If you can capture a woman's imagination, then you will have her. But imagination is a strange creature. It needs time and distance to function properly." |Kathleen Tessaro - The Flirt, p. 288|

Beberapa pekan yang lalu adik saya membawa pulang sebuah novel fiksi roman tentang vampir yang jatuh cinta pada manusia. Tidak perlu saya sebutkan judul bukunya, saya yakin semua pasti sudah mengetahui novel apa yang saya maksud. Novel yang diangkat ke layar lebar ini tidak hanya menjadi best-seller di seluruh dunia. Filmnya mampu menjadi salah satu film terlaris yang ditunggu oleh jutaan audiens di setiap belahan dunia. Lebih dari itu, cerita dalam novel maupun film tersebut -yang tentu saja sama, kan film itu based on novel- mampu menjadi sebuah penjara imajinasi bagi target audiens primernya, kaum hawa.
Perempuan -umumnya- mana yang tidak jatuh hati pada sosok vampir rupawan yang ditampilkan dalam novel tersebut. Deskripsi ketampanan, great treatment pada perempuan, kekuatan fisik -terlepas dari kekuatan supranaturalnya, kan vampir-, dan sosok maskulin yang sesuai dengan imajinasi perempuan ditampilkan secara jelas dalam setiap chapter dalam novel ini. Pengarang seolah mampu membangunkan imajinasi bawah sadar perempuan akan sosok laki-laki yang ideal dengan pendekatan yang sangat feminin. Berbeda dengan beberapa produk media lain, misalnya iklan rokok yang menampilkan sosok laki-laki ideal namun dengan pendekatan yang maskulin sehingga perempuan seolah berada dalam posisi yang terabaikan.
Imajinasi tidak berdiri sendiri menjadi suatu entitas yang tidak berkaitan dengan objek lainnya. Sesungguhnya, setiap peran yang dimainkan oleh setiap orang dalam kehidupannya sehari-hari tidak bisa dilepaskan dari imajinasi yang mengendap dalam kehidupan sosial kita (Appadurai, 1996). Melalui berbagai produk media, terbentuklah konstruksi peran yang dimainkan oleh setiap orang sesuai dengan gendernya. Menarik kemudian untuk memahami suatu hal bernama imajinasi -yang cenderung merujuk pada makna yang tidak nyata- mampu memberikan implikasi yang besar terhadap konstruksi peran yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih menarik lagi, ketika salah satu kontributor dalam konstruksi tersebut adalah sebuah novel fiksi.
Endapan konstruksi imajinasi yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah perangkap yang memenjarakan gambaran idealitas menjadi hal yang mutlak, khususnya bagi para dominant-hegemonic reader, sosok-sosok yang menyepakati dan menerima keseluruhan pesan media yang diterimanya. Bagi para perempuan dominant-hegemonic reader, sosok yang ditemukannya dalam novel mampu menjadi sebuah indikator ideal maskulinitas seorang laki-laki. Asumsi tersebut bahkan kerap menjadi dogma yang diamininya dengan melihat bahwa semakin menyerupai sosok laki-laki yang ditemuinya dalam kehidupan nyata dengan sosok laki-laki dalam novel tersebut, maka akan semakin ideal pula maskulinitas laki-laki tersebut.

Berbeda dengan para negotiated reader, sosok-sosok yang menyepakati prinsip dari pesan media namun tetap menegosiasikan beberapa bagian dari pesan tersebut, idealitas dalam imajinasi tersebut tidak kemudian begitu saja diterapkan dalam kehidupan sosialnya. Perempuan-perempuan ini menyepakati idealitas sosok maskulin dalam sosok yang ditampilkan dalam novel tersebut, namun mereka memiliki kesadaran bahwa sosok tersebut hanya hidup dalam novel dan buku cerita lainnya. Tidak pernah ada kenyataan yang semanis imajinasi. Mereka tidak pernah menerapkan karakter sosok dalam novel tersebut sebagai sosok yang paten dalam menakar idealitas maskulin seorang laki-laki dalam dunia nyata. Sosok laki-laki ideal -yang tentu saja fana- dalam novel tersebut kemudian menjadi sebuah pelarian atas imajinasi yang mereka sadari tidak akan pernah terjawab. Pelarian ini mengingatkan saya pada riset-riset terdahulu tentang relasi antara audiens perempuan dan opera sabun. Ien Ang (1985) melakukan riset tentang kepuasan (pleasure) yang dirasakan oleh audiens saat menonton opera sabun, Dallas yang kala itu tengah berada di puncak popularitasnya. Ang (1985) mengkaji tentang mekanisme yang ada dalam membangkitkan kepuasan audiens ketika menyaksikan opera sabun tersebut. Sementara itu riset lain dilakukan oleh Tania Modleski (1982) menghasilkan keterangan bahwa secara psikologis kaum perempuan menyukai -bahkan kerap kali terikat- opera sabun karena alur ceritanya memiliki kemiripan dengan perjalanan hidup audiens tersebut sebagai perempuan. Adapun secara institusional, kaum perempuan keterikatan kaum perempuan dengan opera sabun terjadi karena sosok perempuan dalam opera sabun tersebut mampu memberikan gambaran ideal tentang keberhasilan aktivitas multi-tasking yang dilakukan oleh kaum perempuan. Sehingga secara tidak langsung opera sabun dianggap mampu merefleksikan hasrat perempuan secara temporer.
Selain kedua sosok audiens tadi, satu sosok audiens yakni oppositional reader, sosok-sosok yang tidak menyetujui pesan media yang diterimanya tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi oppositional reader, mereka menolak idealitas sosok maskulin dari sosok laki-laki dalam novel. Alasan penolakan ini tentunya juga bersifat personal karena imajinasi sendiri merupakan "produk pribadi" yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bisa jadi, imajinasi sosok maskulin yang ideal menurut para perempuan dalam kategori ini berbeda dengan sosok maskulin yang ideal bagi perempuan dalam kategori lain.
Terlepas dari posisi manapun yang ditempati oleh masing-masing audiens, imajinasi perempuan telah memberikan inspirasi yang luar biasa terhadap konstruksi peran yang dimainkan oleh setiap orang. Justifikasi atas peran tersebut dipengaruhi oleh seberapa kuat imajinasi tersebut mampu mengakar dalam standar hidup sang perempuan. Benar ketika kehidupan sosial menjadi salah satu pihak yang mengkonstruksikan peran berbasis gender. Akan tetapi, lebih daripada itu imajinasi agaknya juga menjadi pihak yang dominan dalam proses pengkonstruksian tersebut.
Bagi saya sendiri, komodifikasi ruang imajinasi perempuan terhadap pesan media jelas bukan merupakan sesuatu yang salah. Berbicara tentang komodifikasi, artinya bicara juga tentang konsep ekonomi politik media. Ketika ruang imajinasi ini dijual dalam wujud konten-konten media, maka "sang pemilik imajinasi" tidak diragukan lagi akan menjadi konsumen loyalnya.
If you can capture a woman's imagination, then you will have her.


No comments: