Tuesday, October 18, 2011

Sociodemographic Segment: Another Segment That -Unfortunately- We Didn't Get in Class

Beberapa waktu yang lalu saya menghabiskan waktu dengan membaca buku "Advertising. 8th Edition" yang disponsori oleh Mas Dhidha, pacar saya yang baik hati dan menemukan segmentasi sosiodemografis yang -sayangnya- dulu belum sempat kita pelajari di kelas. And I love to share it some for us! :)

Umumnya kita melakukan segmentasi pasar berdasarkan faktor demografis, psikografis, dan geografis. Apakah itu cukup? Well, dalam kapasitas perkuliahan di kelas segmentasi ini dirasa cukup. Dengan segmentasi ini kita bisa melakukan segmentasi pasar dan melakukan targeting atas target audiens yang diharapkan mampu memberikan respon positif terhadap pesan komersial brand kita. Tapi, perlu diingat bahwa semakin banyak variabel yang dihadirkan maka akan semakin sempit dan spesifik segmentasi itu. Maka, tidak jarang segmentasi tersebut ditambah dengan variabel tahapan hidup (misalnya anak-anak, remaja, suami, istri, ayah, dll), karakteristik behavioral (misalnya loyalitas terhadap brand, status pengguna, tingkat penggunaan, dll), berbasis nilai dan manfaat (segmentasi ini merefleksikan nilai yang dipegang oleh konsumen dan manfaat yang dicari oleh mereka dari brand).

Apakah seluruh variabel segmentasi tersebut harus dilakukan? Jawabannya, semakin banyak variabel yang digunakan tentunya akan mendorong segmentasi dan targeting menjadi lebih fokus. Selain memperbesar probabilitas adanya respon positif konsumen, semakin fokus segmentasi dan targeting ini akan memperkecil biaya aktivitas komunikasi pemasaran yang dilakukan. Akan tetapi, tentu saja penggunaan segmentasi tersebut perlu disesuaikan dengan brand yang bersangkutan.

Selain berdasarkan variabel-variabel tersebut, salah satu pendekatan umum yang kerap digunakan adalah segmentasi berdasarkan faktor sosiodemografis. Segmentasi sosiodemografis berpijak pada konsep dasar tentang kelahiran (usia dan generasi di tahun lahir, misalnya baby boomers, Gen X, Gen Y, Millenium generations) dan gaya hidup mereka. Beberapa istilah untuk segmentasi ini antara lain:
1. Gray Market : Pasar orang tua (senior). Pasar ini dibagi menjadi dua kategori yakni, senior muda (60-74 tahun) dan senior jompo (75 tahun ke atas).
2. Dinkies: Merupakan pasangan muda yang memiliki penghasilan sendiri-sendiri namun belum punya anak.
3. Guppies: Kalangan gay yang masuk ke dalam lingkungan profesional.
4. Skippies: Anak-anak di usia sekolah yang memiliki daya beli (buying power).
5. Slackers: Kalangan remaja dan dewasa yang cuek.
6. Bling bling generation: Orang dewasa yang bergaya hidup mewah.
7. Ruppies: Kalangan profesional urban yang sudah pensiun. Mereka merupakan konsumen tua dengan selera tinggi dan kaya.
8. Yuppies: Kalangan profesional muda yang memiliki prospek karir yang cerah di masa depan.

Sekilas mengkaji segmentasi ini mengingatkan kita pada segmentasi VALS atau Yankelovich Monitor's Mindbase yang berdasarkan pada aspek psikografis dan gaya hidup konsumen.

Lalu yang mana yang digunakan? Once more, kita bisa menggunakan segmentasi sesuai dengan insight yang kita peroleh, marketing purpose, dan advertising purpose yang telah disusun. Atau kita bisa memadukan variabel-variabel yang ada dengan cermat sehingga hasil segmentasi dan targeting menjadi spesifik.




Sunday, October 2, 2011

Our Marriage, Their Wedding


Warning: If you wished this post is about our wedding announcement, sorry honey you better stop reading. It is not yet talking about it. :)

Selepas menyelesaikan pendidikan di tingkat S-1 umumnya kita akan disodori tentang berbagai pertanyaan seperti, "Habis ini mau lanjutin S-2 atau kerja dimana?", "Udah daftar kerja dimana aja?", "Kapan nikah?". Baiklah, pertanyaan sejenis itu memang wajar dan hmm... umum ditanyakan. Way intimidating tapi cukup populer ditanyakan oleh siapapun yang ngobrol dengan kita ketika baru saja lulus sarjana.

Di antara ketiga contoh pertanyaan tersebut, pertanyaan terakhir, "Kapan nikah?" adalah pertanyaan yang terhitung kerap ditanyakan pada kaum perempuan. Mengapa perempuan? Karena mayoritas orang-orang masih memiliki paradigma tentang fase hidup bagi perempuan yang menganggap bahwa setelah lulus kemudian menikah saja, belum bekerja pun tidak apa, toh ada suami yang bisa menghidupi. Tulisan ini jelas tidak bermaksud menyudutkan teman-teman yang menikah di usia muda, menikah saat baru saja lulus atau mungkin masih menjalani aktivitas perkuliahan, atau teman-teman yang memang berencana berkarir di rumah (house executive). Tulisan ini lebih pada pemaparan tentang sudut pandang alternatif -selain sudut pandang yang menganggap bahwa perempuan setelah lulus kemudian menikah saja- tentang konsep pernikahan.

Our wedding, their marriage. Tidak berlebihan rasanya ketika saya mencoba untuk membuat sebuah batasan yang jelas tentang konsep "wedding" dan "marriage". Umumnya, hampir setiap perempuan memiliki "wedding dream" yang sesuai dengan keinginannya. Dia tahu persis akan seperti apa wedding day-nya. Gaun yang akan dikenakan, tema dan dekorasi, bunga yang dipasang, lokasi acara, bahkan mungkin untuk urusan menu pun sudah ada dalam benaknya. Akan tetapi, seringkali lupa dengan konsep bahwa "wedding" berbeda dengan "marriage". "Wedding" adalah selebrasi, perayaan dalam satu atau beberapa hari. "Marriage" adalah journey, perjalanan seumur hidup.

Ketika kita bertemu dengan laki-laki yang kita impikan, yang dengannya kita seolah dapat melihat masa depan, tidak jarang kita terjebak pada kondisi yang mendorong kita merasa bahwa inilah orang yang tepat dan dengannya aku siap hidup bersama, kapanpun itu. Ah, kali ini konsep "hidup bersama". "Hidup bersama" yang dalam Bahasa Inggris disebut sebagai "domestic partnership" agaknya berbeda dengan konsep "hidup bersama" dalam istilah kita. Di sana, "hidup bersama" merupakan level dimana dua orang setuju untuk tinggal bersama dan berbagi biaya untuk fasilitas hidup yang mereka nikmati berdua. Level relasinya? Tentu beragam, ada yang sepasang kekasih, saudara, atau sahabat. Sedangkan di sini, konsep "hidup bersama" cenderung merujuk pada sepasang suami-istri (okelah di zaman ini di sini pun ada juga pasangan kekasih yang belum menikah dan hidup bersama, tapi bukan ini yang sedang kubahas) yang tinggal dan hidup bersama, berkomitmen untuk saling terikat selamanya dan membentuk suatu keluarga. Pertanyaannya, "Kapan kita siap untuk menjalani komitmen seumur hidup untuk berbagi hidup bersamanya?"

Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu beragam tergantung pada diri masing-masing. Ada yang mungkin menetapkan parameter siap ketika dirinya telah bertemu laki-laki yang tepat dan mereka sudah selesai kuliah, ada yang mungkin berparameter ketika laki-laki yang dicintainya sudah mapan dan dirinya sudah selesai kuliah, ada yang mungkin berparameter ketika keduanya sudah memiliki kondisi ekonomi dan emosi yang stabil, atau mungkin ada juga yang berparameter ketika keduanya saling cinta dan bahagia saja sudah cukup bagi mereka. Yang mana yang benar? Semua benar, tergantung bagaimana keduanya mengimani keyakinan tersebut.

Pertanyaan "Kapan nikah?" mungkin sama menyudutkannya dengan "Kapan lulus?" bagi sebagian orang. Bedanya, pertanyaan soal lulus kuliah berada dalam level individu, sementara pertanyaan nikah berada dalam level yang lebih makro. Menikah adalah "marriage" bukan sekedar "wedding". Benar mereka berkaitan tapi konsepnya berbeda. Lalu kenapa "their wedding"? Tentu ini adalah pernikahanmu, kalian adalah dua pemeran utamanya. Tapi mayoritas upacara pernikahan juga dimiliki oleh orang tua dan keluarga. Dalam beberapa keluarga, orang tua menjadi sponsor tunggal acara pernikahan sehingga mereka merasa memiliki hari itu. Mereka akan mengambil peran dominan dalam menentukan segalanya meski didasarkan pada keinginan kedua mempelai. Apakah salah? Tentu tidak.

Banyak orang menyukai selebrasi, "the wedding". Tahap persiapan, prosesi, hingga acara wedding day memang selalu menyenangkan. Semua orang bergembira, semua orang urun pendapat, semua orang sibuk berpartisipasi mempersiapkan wedding day agar segalanya sempurna. Tapi setelah wedding day usai, the real marriage life comes and no one of them could participate in your marriage life. Benar mereka mengambil peran sebagai keluarga - keluarga ipar, namun pernikahan yang sesungguhnya hanya dijalankan oleh dua orang yang sepakat untuk saling menjaga komitmen mereka. Yes, this is your family wedding, their wedding, but your marriage.

So, girls please be careful on identifying you readiness. Hanya dirimu sendiri yang tahu kapan kau siap. Jangan terjebak pada "wedding day" dan lupa pada "marriage life". Aku tidak sedang meragukan instansi pernikahan, aku tidak pernah meragukannya sedikit pun. Aku bukan perempuan yang berkeinginan tidak menikah seumur hidup. Tapi aku berharap agar kita semua memastikan bahwa kita sungguh-sungguh siap ketika mengambil keputusan itu. Everybody can come in your wedding day, but nobody can come in your marriage life. Your marriage, their wedding.