Saturday, January 8, 2011

You Are What You Tweet: Twitter, Media "Penjujuran" Diri

Tulisan ini sudah ada di kepala saya sejak beberapa bulan yang lalu dan kemudian direfresh kembali setelah berbincang dengan Arien, salah satu sahabat saya beberapa hari yang lalu. Kami membicarakan tentang bagaimana media sosial, khususnya twitter mampu menjadi media "penjujuran" diri bahkan lebih jujur dibandingkan dengan realitas nyata.
Kita sering sekali menemukan beberapa tagar/hashtag di Twitter misalnya berlabelkan #nomention, #abaikan, #random atau tweet yang berisi curhat pribadi. Pada dasarnya, pengguna Twitter yang menuliskan tweet bertagar tersebut hanya mempublikasikan apa yang ingin disampaikannya saja. Namun di balik itu semua, asumsinya apa yang ada di benak mereka dapat diraba melalui tweet tersebut. Dengan kata lain, hampir 90% dari kita dapat kemudian menduga atau membaca perasaan dan pikiran orang lain melalui tweet mereka.

Uniknya, sebagian para pengguna Twitter tersebut dalam dunia nyata mati-matian berusaha tidak ingin perasaan atau pikirannya tersebut diketahui oleh orang lain. Sehingga tweet mereka kemudian sering ditambahi embel-embel #nomention atau tagar-tagar lainnya. Padahal semakin tinggi intensitasnya mengupdate status-status yang provokatif diikuti dengan tagar-tagar tertentu justru semakin mudah perasaan atau pikiran mereka diduga oleh follower yang membaca tweet mereka. Tidak hanya akun Twitter personal, beberapa kuis dan soal-soal via Twitter pun sedikit banyak jika ditilik lagi bisa jadi merupakan curahan hati sang admin atau responden twitter yang mem-publish status tersebut. Tidak salah memang curhat atau berkeluh kesah di Twitter, ini hanya soal cara masing-masing orang mengekspresikan perasaan dan ide-idenya.
Perilaku mengupdate status Twitter merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Ada pengguna yang frekuensi updating-nya jarang, sering, bahkan sering sekali hingga mungkin dalam hitungan jam dia sudah mengupdate beberapa status Twitternya beberapa kali. Tentunya updating status Twitter ini bukan tanpa alasan. Hermawan Kartajaya, salah seorang pengamat marketing di Indonesia pernah mengemukakan penemuannya bahwa mayoritas masyarakat (khususnya anak muda) mengupdate statusnya untuk memperoleh perhatian. Mereka senang ketika status mereka direspon dan mampu menimbulkan sebuah perbincangan di dunia maya.
Twitter sebagai sebuah realitas virtual mau tidak mau harus diakui sebagai sebuah media "penjujuran" diri. Twitter menjadi sebuah wadah dimana penggunanya mampu menyingkap kejujuran diri mereka baik sengaja maupun tidak sengaja.
Benar adanya jika sekitar satu dekade sebelumnya realitas maya merupakan hal yang absurd dimana self disclosure menjadi hal yang sangat mewah. Benar adanya jika saat ini kita masih harus tetap waspada dengan identitas virtual yang mungkin menyesatkan. Namun, benar juga adanya jika saat ini Twitter sebagai bagian dari media sosial mampu menyeret realitas nyata ke dalam dunia virtual kita sebagia bagian dari "penjujuran diri" baik sengaja maupun tidak disengaja dalam identitas virtual.

1 comment:

Christa Adhi Dharma said...

Hihihi...
IMHO, saya sepakat mbak bahwa twitter merupakan media "penjujuran" diri.
Toh hingga saat ini saya melihat ada beberapa orang yang ketika di dunia nyata mereka terkekang oleh tata norma maupun kode etik baik karena profesi maupun lingkungan pergaulan, di twitter mereka berubah menjadi individu yang jauh lebih bebas. Bebas dari segala tata norma maupun kode etik yang mengikat mereka ketika berada dalam dunia nyata.
:)