Saturday, August 15, 2009

A Cup of Coffee and A Piece of Childhood Memories

Saya sedang menonton televisi sambil ditemani oleh secangkir cappuccino favorit saya siang ini. Sebuah program infotainment yang menampilkan lagi berita soal video Marshanda yang diupload di youtube dimana salah satunya Marshanda mendedikasikan video tersebut kepada salah satu teman Sekolah Dasarnya yang dulu selalu memusuhinya. Saya menyeruput cappuccino saya, terlintas di benak saya memori masa kecil saya ketika saya masih menempuh pendidikan tingkat Sekolah Dasar. Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling lama saya tempuh, enam tahun saya habiskan dengan teman-teman yang sama dengan kepolosan dan keluguan tawa ceria khas anak-anak.

Saya belum genap berusia enam tahun ketika saya menduduki bangku Sekolah Dasar. Agak sulit menemukan sekolah yang mau menerima murid kelas satu dengan usia belum genap tujuh tahun waktu itu. Tentu saja hal itu berbeda dengan sekarang. Sekolah Dasar jaman sekarang mau menerima murid-murid di bawah tujuh tahun dengan kemampuan dasar akademis yang baik, sedangkan jaman saya dulu memasuki Sekolah Dasar masih berdasarkan perhitungan usia murid. Saya bersekolah di sebuah Sekolah Dasar negeri milik TNI AU bernama SDN Angkasa I. Belakangan sekolah saya berubah nama menjadi SDN Adisucipto II. Sebenarnya sekolah saya ini berlokasi tidak terlalu jauh dari rumah saya, akan tetapi tidak satu pun murid yang saya kenal baik sebagai tetangga atau sebagai teman TK yang bersekolah di sini. Ingatan saya mundur lagi, ah saya baru ingat ternyata saya toh tidak punya teman tetangga seusia dan saya kan tidak lulus TK. Mungkin lebih tepatnya saya mengundurkan diri dari TK. Saya ingat seharusnya saya naik ke kelas B (atau lebih dikenal dengan kelas “enol besar”) namun saya lebih memilih untuk mengundurkan diri dan nekat melanjutkan ke bangku Sekolah Dasar. Tentu saja waktu itu saya belum berpikir menggunakan logika atau alasan-alasan rasional lainnya saat memutuskan untuk tidak meluluskan diri di bangku TK. Saya hanya bermodal merengek minta sekolah di SD karena saya sudah bisa menulis dan berhitung sementara saya bosan di TK hanya menyanyi dan menggambar terus. Mungkin Mama saya bosan juga mendengar rengekan saya, akhirnya saya dengan senang hati tidak menaikkan diri ke kelas B namun melompat ke kelas satu SD.

Saya masih ingat hari pertama saya bersekolah di SD saya diantar oleh nenek saya naik becak yang kemudian menjadi kendaraan antar jemput saya setiap hari sepanjang kelas satu SD. Mama dan Papa saya keduanya bekerja, nenek dan kakek saya juga sibuk jadi saya berlangganan becak yang mengantar jemput saya setiap hari ke sekolah. Hari pertama saya sekolah di SD saya ditunggui oleh nenek saya. Di kelas itu jumlah muridnya tidak lebih dari 30 orang murid dan semuanya tampak sudah kenal kecuali saya. Saya menjadi anak pendiam yang bahkan untuk mengingat nama teman-teman saya saja susah sekali. Ketiga puluh anak ini merupakan teman-teman saya hingga lima tahun selanjutnya. Tidak bertambah, justru berkurang. Beberapa teman-teman kami datang dan pergi di kelas-kelas selanjutnya hingga tersisalah 20 orang siswa yang kemudian menjadi teman baik hingga saat ini karena pengalaman enam tahun menjadi manusia kecil bersama yang penuh dengan tangis dan tawa khas anak-anak.

Saya ingat di waktu SD, guru kelas satu saya bernama Ibu Ning. Beliau sangat sabar mengajari saya menulis huruf tegak bersambung (inilah kegagalan saya hingga sekarang, saya tidak pernah benar-benar bisa menulis huruf tegak bersambung dengan cantik). Beliau sangat sabar mengajari saya matematika dengan sempoa warna-warni dan beliau juga sangat perhatian kepada seluruh murid-muridnya. Saya pernah sekali ditabrak sepeda oleh anaknya Ibu Ning yang duduk di kelas enam waktu itu. Lutut saya terluka sakit sekali dan Ibu Ning memarahi anaknya habis-habisan di sekolah. Saya tidak ingat sih penyebab saya jatuh itu tertabrak atau ditabrak, hanya saja kalau mengingat bahwa saya sedikit bermasalah dengan keseimbangan (berdiri dengan dua kaki saja saya sering kepentok-pentok) kemungkinan waktu itu saya sedang tidak seimbang. Saya juga punya guru yang sangat dekat dengan angkatan saya (harap diingat kembali, angkatan saya ya cumin dua puluh butir manusia itu-itu saja). Beliau dekat karena sudah tiga kali menjadi wali kelas kami yaitu ketika kami duduk di kelas dua, empat, dan lima. Beliau sangat baik hati dan pandai melucu. Saya ingat dulu ketika kami kelas empat atau lima, istri beliau sakit. Maka, kami sekelas berinisiatif untuk patungan dan beramai-ramai menjenguk istri beliau yang sedang sakit. Kalau diingat-ingat lagi konyol juga sih waktu itu, dua puluh orang (atau lebih satu atau dua orang saya tidak terlalu ingat) beramai-ramai ke rumah gurunya. Kemudian saya juga ingat di kelas tiga, wali kelas saya merupakan guru ter-“killer” di sekolah. Beliau galak sekali. Saya ingat waktu itu sekali seumur hidup saya di SD saya begitu takut karena saya lupa membawa PR saya. Akhirnya saya menemui ibu guru dengan sikap siap dimarahi dan berkata bahwa saya lupa membawa PR saya. Untungnya ibu guru tidak memarahi saya, tapi tetap saja saya mendapat hukuman menyalin PR tersebut di selembar folio. Hehe jika ingat pengalaman itu saya sering tertawa sendiri, waktu itu saya begitu takut ketinggalan PR namun ketika menginjak bangku SMP&SMA saya ko tidak begitu menyesal ya kalau ketinggalan PR hehe.

Waktu SD dulu, Mama pernah melarang saya jajan sembarangan. Saya tidak boleh jajan es lilin, tidak boleh jajan harum manis, tidak boleh jajan cimol-cimolan. Hampir sepanjang sekolah itu saya menurut tidak jajan makanan-makanan itu hingga saya nyaris jarang sekali ke kantin. Saya membawa tempat minum berbentuk teropong yang di dalamnya berisi air putih dan teh atau sirup sebagai pengganti es lilin yang begitu menggoda. Saya sering iri pada teman-teman saya yang bisa jajan es lilin sesuka hati, hingga akhirnya suatu hari saya (Alhamdulillah) terpaksa makan es lilin juga. Ceritanya hari itu dokter gigi datang ke sekolah dan gigi saya dicabut sehingga rasanya sakit sekali. Teman-teman bilang supaya gigi saya tidak terus berdarah dan sakit saya harus makan es, akhirnya saya makan es lilin itu. Setelah itu saya merasa bersalah pada Mama meskipun senang juga karena akhirnya pernah mencicipi es lilin di bangku SD.

Di kelas satu, dua, dan tiga SD saya sering tampil menari di pentas seni tutup tahun ajaran di sekolah. Sayangnya, sekarang saya sudah lupa sama sekali gerakan-gerakan menari. Di kelas empat SD, saya belajar kolintang, alat musik tradisional Sulawesi Utara. Saya memegang posisi melodi dimana saya harus menghafalkan banyak not-not dan bermain bersama teman-teman sekelas. Saya ingat kami sekelas dulu pernah bermusuhan dengan adik kelas di bawah kami karena rebutan bermain kolintang. Di kelas lima SD saya punya guru melukis baru. Saya senang melukis dan saya selalu mendapat nilai bagus di mata pelajarannya. Di kelas enam SD saya pernah maju mewakili sekolah untuk lomba mata pelajaran IPS/PPKn. Entah kenapa saya diajukan untuk lomba mata pelajaran itu. Seingat saya, saya hanya suka sekali pelajaran IPS-Sejarah (waktu itu masih IPS saja) dan entah kenapa PPKn, mungkin seperti kata pacar saya seharusnya nilai PPKn saya bukan sepuluh (dalam skala 0-10) tapi tiga puluh. Saya senang berhasil meraih juara dua namun entah sekarang pialanya tersimpan dimana. Setelah saya ingat-ingat, agaknya masa Sekolah Dasar merupakan saat-saat yang paling kompetitif sepanjang sejarah pendidikan saya. Iklim akademis yang kompetitif sangat terasa (bahkan ketika saya SMP hingga sekarang agaknya tidak pernah sekompetitif saat SD dulu). Kami semua saling bersaing untuk menjadi yang terbaik di kelas. Dengan menjawab pertanyaan guru, selalu rajin mengerjakan PR, berlomba-lomba dalam nilai ulangan, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah salah satu kebiasaan khas anak SD saat ulangan yaitu “benteng buku”. Biasanya kami akan berusaha untuk menutupi buku ulangan kami masing-masing dan berusaha sebisa mungkin agar jawaban kami tidak dicontek oleh teman sebangku atau teman bangku depan atau belakang. Selain menutupi dengan siku kurus kami, kami juga menutupinya dengan bantuan buku-buku dan tempat pensil yang ditegakkan sehingga menyerupai benteng. Belakangan saya sejujurnya rindu saat-saat melindungi tugas dengan benteng buku di tengah maraknya tugas-tugas kuliah copy-paste dan plagiarisme di kalangan mahasiswa dan orang dewasa.

Sebuah cerita tentang pertemanan benar-benar mengesankan di masa ini. Sewaktu saya SD, seperti anak-anak pada umumnya ada saja teman yang tidak suka pada saya. Dia galak sekali pada saya dan menjadi “ketua geng” cewek di kelas (sebut saja angkatan) saya. Kadang-kadang kami bertengkar namun pada dasarnya kami berteman baik. Khas sekali anak SD, sirik-sirikan dengan teman, mengejek-ngejek teman, melaporkan kalau teman ketauan mencontek atau tidak mengerjakan PR, sungguh menyenangkan. Pertemanan baik di antara kami semua murid laki-laki dan perempuan terjalin dengan akrab terutama saat pelajaran olah raga dan saat istirahat. Biasanya kami semua bermain bersama-sama seperti bekel, lompat tali, dan kasti. Khusus untuk permainan kasti, saya selalu kebagian menjadi “bawang kosong”, istilah untuk pemain penggembira karena saya tidak pintar-pintar banget olah raga hehe. Sangat menyenangkan semua tetap mengajak saya bermain meskipun saya tidak pintar sama sekali di permainan itu. Saya juga masih ingat soal “saingan jepit rambut”. Waktu SD dulu, kami berlomba-lomba dalam jepitan rambut siapa yang paling up to date. Saya ingat waktu jepit rambut berbentuk kupu-kupu dengan sayap yang bisa bergoyang, saya memilikinya lebih dari sepuluh buah (boleh ko membayangkan betapa borosnya saya waktu kecil).

Kami berdua puluh (atau lebih sedikit) juga pernah berkunjung ke rumah salah satu teman sekelas (atau seangkatan) kami di rumahnya karena kepalanya bocor dan tidak bisa masuk sekolah. Kebetulan rumah teman kami cukup dekat sehingga kami berdua puluh cukup jalan kaki beramai-ramai menuju ke rumahnya sambil membawakan sebungkus roti tawar hasil patungan sekelas dengan uang saku yang pas-pasan. Hal tersebut kemudian menjadi tradisi. Setiap ada teman yang sakit dan tidak masuk sekolah, kami akan beramai-ramai menjenguknya dan membawakan bingkisan hasil patungan sekelas.

Enam tahun menghirup udara yang sama di sebuah sekolah TNI Angkatan Udara, bermain dan menangis bersama ketika dokter sekolah datang untuk menyuntik imunisasi kepada kami setiap naik kelas benar-benar meninggalkan kesan yang dramatis bagi saya. Saya pernah menangis sepanjang jalan karena Kepala Sekolah saya akan pensiun. Saya pernah melaporkan teman saya yang mencontek diam-diam kepada Pak Guru. Saya juga pernah tertawa senang dengan teman-teman ketika bermain kasti di halaman sekolah hingga seragam kami penuh debu. Hingga saat ini, saya dan kedua puluh teman saya berteman dengan baik meskipun sekarang kami tinggal berjauhan. Pengalaman enam tahun bersekolah di tempat yang sama agaknya menjadi pengalaman yang luar biasa sebagai fondasi dasar kami menjadi manusia dengan tangis dan tawa khas anak-anak.

No comments: