Monday, December 15, 2008

suatu senja di jantung kota

Banyak sekali hal kecil di sekeliling saya yang sering mencuri perhatian saya. Salah satunya ketika kemarin sore saya sedang duduk-duduk menunggu diklat fotografi selesai di perempatan Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Perhatian saya tercuri oleh seorang tuna grahita yang lewat di depan saya dan dia hendak menyeberang jalan. Terlintas di benak saya, "Apakah dia akan baik-baik saja dan dapat menyeberang dengan baik?". Saya terus mengamatinya, menuntaskan penasaran saya atas pertanyaan tersebut.


Dia berdiri di pinggir jalan raya yang tidak kenal pagi, siang, sore, malam, dini hari, hingga pagi lagi. Jalan raya yang terus menerus dilewati oleh kendaraan-kendaraan di daerah 0 km di jantung kota membuatnya tetap berdiri di sisi jalan. "Apakah dia menanti jalanan sepi?" itulah pertanyaan kedua saya terhadapnya. Dan tebakan saya benar, dia berdiri di sana sekian menit menanti traffic light menunjukkan warna merah dan dia mulai melangkah pelan-pelan menuju ke seberang jalan. Mata saya mengekor langkahnya, dia berjalan begitu santai tanpa beban dan berlalu di ujung jalan. Satu kesimpulan yang saya ambil saat itu, "Tuna grahita pun berhati-hati dalam menyeberang".


Sekitar satu jam kemudian diklat selesai dan saya pulang bersama kekasih saya. Saya ceritakan padanya tentang apa yang saya lihat tadi dan kesimpulan yang saya ambil. Dia menambahkan kesimpulan saya, "Tuna grahita pun pada titik tertentu memiliki kesadaran terhadap caranya melindungi diri dan mempertahankan hidupnya. Pernah ngga kamu lihat ada tuna grahita yang tidur di tengah sungai atau di dalam sumur?" Penjelasannya cukup memuaskan saya dan menyadarkan saya bahwa seperti apapun kondisi seseorang, pada dasarnya dia akan berusaha untuk mempertahankan hidupnya sebagai sebuah bentuk kesadaran kodrat manusiawi.


Sayangnya, kadang alasan mempertahankan hidup itu menjadi sebuah pembenaran terhadap setiap tindakan manusia bahkan sesuatu yang mungkin dianggap tidak benar, disalahkan, atau memang benar-benar salah menjadi sebuah hal yang lumrah dan patut atas nama "mempertahankan hidup". Ketika "mempertahankan hidup" sudah menjadi sebuah alasan, maka tindakan-tindakan seperti trafficking, prostitusi, perampokan, penodongan, dan berbagai tindakan-tindakan yang merugikan orang lain seolah menjadi benar, sekali lagi atas nama "mempertahankan hidup". Tuhan memang menyuruh kita untuk berusaha mempertahankan hidup kita, naluri manusiawi pun akan secara instingtif mendorong kita mempertahankan hidup namun perlukah dengan cara seperti itu? Ataukah memang situasi yang benar-benar mendesak yang menyebabkan mereka berbuat seperti itu? Jikalaupun iya, apakah tindakan tersebut dapat memperoleh pembenaran?

No comments: